EDITORIAL
|
Ge(li)mpungan?
Di level praktis, demokrasi merupakan sebuah sebuah sistem
pasar. Penguasaan pasar; yakni pasar dalam artian publik, adalah rintis, bahkan
kunci bagi diraihnya kekuasaan.
Tentunya, siapapun di Purwakarta, saat ini mafhum untuk
jangan coba-coba datang ke ruang birokrasi pada hari-hari berselang sehubungan rutinan
2 hari per tiap minggu yang dengan keras kepala terus berjalan sejak awal tahun
2011. Jika ditambah dengan jumsih yang sebelumnya merupakan hari sepeda raya,
maka lengkaplah sudah. 3 hari kerja gedung-gedung pemerintahan senyap. Tak ada
pelaku keputusan di level OPD mengingat hanya sedikit saja punggawa-punggawa
birokrasi bereselon yang masih loyal aturan dan masih setia akan tupoksi
administratifnya untuk tetap tinggal di ruang kerjanya dan baru akan ke luar
lapangan manakala itu relevan dengan kebutuhan masyarakat. Begitu senyap, dan
begitu stagnan dari kegiatan pembangunan dan pelayanan publik.
“mangga we raraoskeun
heula teu damangna, margi SKTM teu acan katawis, pa kepala na oge nuju
ge(li)mpungan”, (Atawa) :
“Tenang aja de, kerja
mah taun depan juga masih bisa. Habis gimana kartu kuningnya nggak bisa
ditunggu sekarang. Pa Kepalanya lagi ge(li)mpungan”
Sudah sedemikian parahkah kinerja birokrasi serta
saluran perwakilan yang ada (DPRD) dalam pandangan dan diskreditasi kepala
daerah, sehingga yang bersangkutan merasa (ingin dan) perlu diabring-abring ke tengah masyarakat?
–Absurd; apalagi konon direncanakan, bahwa model abring-abring ini dipandang mendesak untuk dilakukan paling tidak
sampai 2013, teng!)
Pijakan model abring-abring
diskreditatif toh telah amat jelas
:
1.
(konon) musrenbang
tidak berjalan;
2.
(konon) reses
tidak efektif;
3.
(konon) birokrat
enggan ke lapangan;
4.
(konon) dewan
berjarak dengan publik;
5.
(konon) hibah bansos
efektif melalui itu;
Maka itulah, (k-o-n-y-o-n) satu-satunya model paling
mutakhir dan terefektif adalah GE(LI)MPUNGAN....,
–Kelak para guru
pun akan didorong untuk meninggalkan gedung sekolahnya dan mulai mengajar murid
dengan cara ge(li)mpungan.
Kuantifikasi, memang merupakan paradoks dari terapan
demokrasi. Ia hantu menakutkan bagi setiap politisi. Sehingga diakui atau
tidak, ketimbang memikirkan suatu drafting
atau grand design perencanaan program
ke depan, mayor politisi lebih senang mengutak-atik kalkulator guna menghitung
probabilitas posisional dan potensialitas suara. Untuk publik, orasi sajalah. Dengan
catatan, seluar biasa mungkin. Namun tetap fardhu
‘ain, untuk seambigu mungkin,
“Dan
di antara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan Hari
kemudian," pada hal tidaklah mereka itu beriman.” (Al-Baqarah:9)
Parahnya, bakteri patologis kuantifikasi tersebut
mengidapi pula para politisi yang sudah menduduki posisi jabatan publik.
Melalui prognosis, indikasinya sama. Yakni, ketimbang menanggung jawabi amanat
melalui pelahiran karya, lebih baik menyi-apkan modal dan kalkulator demi
pengamanan ke depan.
14 tahun sudah reformasi, dan publik masih tetap
diharap maklum.., ge(li)mpungan di tengah publik yang kelimpungan.
--dari Redaksi--