" DEDE YUSUF - LAKSAMANA , BEKERJA SEPENUH HATI"

Senin, 16 Januari 2012

SASAB DANGDING NYARING - EDITORIAL PUSHINK


EDITORIAL
 
 SASAB DANGDING NYARING
Satu hal yang dapat diindikasikan mencirikan paham dzahiriyah adalah tumpu pikirnya pada aspek luaran yang menghilangkan dimensi nilai tujuan dan kedalaman. Seperti bingung-nya para pendatang dan tukang pos untuk mencari alamat mengingat semua tempat di Kabupaten Amarta saat ini adalah pager kahuripan yang tanpa nama, dzahiriyah buta akan posisi dan langkah pijak ke arah tujuan yang semstinya.
Dangding nyaring. Hanya ritual verbalkah? Hanya di ramadhan saja kah? –Itulah dia soalnya, dzahiriyah hanya mengenal momen, mengenal seragam luar dan semua aspek lahir yang pada prinsipnya merupakan area termu-dah untuk diikuti pikiran. Berbeda dengan tafakur yang merupakan wilayah berat, lebih-lebih bagi pikiran imani yang malas bekerja dan karena itu jumud dan buta. Sedemikian beratnya, sehingga al-Qur’an meninggikan derajat para pemikir dan orang berilmu. Sebaliknya sedemikian pula rendahnya, dzahi-riyah sehingga fisikawan terkemuka, Kepler, pun menyebutkan bahwa area fisikal merupa-kan area yang termudah yang dapat diterima pikiran ketimbang pemahaman.
Salah satu ciri dari pola pikir dzahiriyah adalah menguatnya klaim kebenaran psikologis aki-bat kebutaan pikiran. Seorang dzahiriyah, akan merasa mencapai keislaman dengan hanya mengahfal, mengoleksi, dan menyam-paikan banyak dalil dan menempelkan semua atribut luar syari’at keagamaan. Sebaliknya seorang ulama (belum tentu ustadz, haji atau kyai) dengan kedalamannya, akan senantiasa merasa tidak tahu dan merasakan kekurangan dalam ilmu dan keislamannya. Jika pada dza-hiriyah, islam adalah fanatisme, pada yang kedua islam berarti pencarian dan toleransi.
Pun dalam soal budaya. Manakah yang lebih sunda antara seseorang yang hidup basajan, someah tur teteg mirasa nyeri sasama, jika dibandingkan dengan seorang berkampret, beriket, tur ngahambur-hambur modal hirup rahayat ku beubeulit tangkal dan boeh kareta? –Klaim luaran, amatlah kering,
Soal nyaring, syahdan, saat seorang penghi-dup malam dalam takutnya membaca ayat kursi, Iblis tertawa berujar; “teu sieun aing ku ayat-ayat, kabeh oge apal. Ngan ukur sieun ku tunggul nyaring.” Artinya, teu sieun ku dangding nyaring, ukur sieun ku hate anu teu sare! Sieun ku tunggul istiqomah. Konsisten,
Sungguh benar, Gusti Allah ora sare, laa ta’khudzuhu sinatuwwalaa naum. Bagi manu-sia jelas sudah bahwa maksud nyaring bukan-lah menunjuk pada mata buncelik dan pada waktu bernama malam. Seperti syar’i dengan syari’at, lail berbeda dengan lailat. Lail berarti malam, sedangkan lailat berarti “pemalam-an”; pensifatan malam. Sunyi diri. Lailat al qadar, adalah proses mensunyikan qadar (kadar/ukuran) diri dari nafsu untuk menuju fitrah. Menuju ‘id al fitri, dimana manusia kembali kepada titik kadar sebagaimana pada awalnya ia diciptakan (fathoro).
Akan halnya dangding, dalam riwayat israili-yat, saat Musa as. bersedih hati atas perpisah-an di bukit Thursina, ia bertanya, “Ya Allah, dimanakah lagi aku dapat menemukan Engk-au?” JawabNya adalah “Carilah Aku pada jiwa-jiwa yang remuk.” –Inilah dzikir (ingat) hakiki. Mengingat, merasakan, dan berkeras hati mencari jalan keluar bagi setiap kesusahan. Kesusahan rahayat! Lihatlah, dangding nya-ring Umar bin Khattab yang berkeliling saban malam, untuk mencari tahu siapa-siapa dari warganya yang lapar dan mendapat ketidak-adilan. Diam-diam, tanpa abring seremonial.
Maka, pada akhirnya perlu jawab, apakah ghi-rah shoum akan kontinu pada syawal dan setiap bulan berikutnya? Pun, Apakah sang dzahir mengerti bahwa mutiara tak pernah ada di permukaan, dan hanya ada di keda-laman? Wahai dangding lan hate anu sare, afalaa yatafakkarun?
--Redaksi--