EDITORIAL
|
SASAB DANGDING NYARING
Satu hal yang dapat diindikasikan
mencirikan paham dzahiriyah adalah
tumpu pikirnya pada aspek luaran yang menghilangkan dimensi nilai tujuan dan
kedalaman. Seperti bingung-nya para pendatang dan tukang pos untuk mencari
alamat mengingat semua tempat di Kabupaten Amarta saat ini adalah pager
kahuripan yang tanpa nama, dzahiriyah
buta akan posisi dan langkah pijak ke arah tujuan yang semstinya.
Dangding
nyaring. Hanya ritual verbalkah? Hanya
di ramadhan saja kah? –Itulah dia soalnya, dzahiriyah
hanya mengenal momen, mengenal seragam luar dan semua aspek lahir yang pada
prinsipnya merupakan area termu-dah untuk diikuti pikiran. Berbeda dengan
tafakur yang merupakan wilayah berat, lebih-lebih bagi pikiran imani yang malas
bekerja dan karena itu jumud dan
buta. Sedemikian beratnya, sehingga al-Qur’an meninggikan derajat para pemikir
dan orang berilmu. Sebaliknya sedemikian pula rendahnya, dzahi-riyah sehingga fisikawan terkemuka, Kepler, pun menyebutkan
bahwa area fisikal merupa-kan area yang termudah yang dapat diterima pikiran
ketimbang pemahaman.
Salah satu ciri dari pola pikir dzahiriyah adalah menguatnya klaim
kebenaran psikologis aki-bat kebutaan pikiran. Seorang dzahiriyah, akan merasa mencapai keislaman dengan hanya mengahfal, mengoleksi,
dan menyam-paikan banyak dalil dan menempelkan semua atribut luar syari’at
keagamaan. Sebaliknya seorang ulama (belum
tentu ustadz, haji atau kyai) dengan kedalamannya, akan senantiasa merasa tidak
tahu dan merasakan kekurangan dalam ilmu dan keislamannya. Jika pada dza-hiriyah, islam adalah fanatisme,
pada yang kedua islam berarti pencarian dan toleransi.
Pun dalam soal budaya. Manakah yang lebih
sunda antara seseorang yang hidup basajan,
someah tur teteg mirasa nyeri sasama, jika dibandingkan dengan seorang
berkampret, beriket, tur ngahambur-hambur modal hirup rahayat ku beubeulit tangkal dan boeh kareta? –Klaim luaran, amatlah kering,
Soal nyaring,
syahdan, saat seorang penghi-dup malam dalam takutnya membaca ayat kursi,
Iblis tertawa berujar; “teu sieun aing ku ayat-ayat, kabeh oge apal. Ngan ukur
sieun ku tunggul nyaring.” Artinya,
teu sieun ku dangding nyaring, ukur
sieun ku hate anu teu sare! Sieun ku
tunggul istiqomah. Konsisten,
Sungguh benar, Gusti Allah ora sare, laa ta’khudzuhu sinatuwwalaa naum. Bagi
manu-sia jelas sudah bahwa maksud nyaring
bukan-lah menunjuk pada mata buncelik
dan pada waktu bernama malam. Seperti syar’i
dengan syari’at, lail berbeda dengan lailat. Lail berarti malam,
sedangkan lailat berarti “pemalam-an”;
pensifatan malam. Sunyi diri. Lailat al
qadar, adalah proses mensunyikan qadar
(kadar/ukuran) diri dari nafsu untuk menuju fitrah. Menuju ‘id al fitri,
dimana manusia kembali kepada titik kadar sebagaimana pada awalnya ia
diciptakan (fathoro).
Akan halnya dangding, dalam riwayat israili-yat, saat Musa as. bersedih hati
atas perpisah-an di bukit Thursina, ia bertanya, “Ya Allah, dimanakah lagi aku
dapat menemukan Engk-au?” JawabNya adalah “Carilah Aku pada jiwa-jiwa yang
remuk.” –Inilah dzikir (ingat)
hakiki. Mengingat, merasakan, dan berkeras hati mencari jalan keluar bagi setiap
kesusahan. Kesusahan rahayat! Lihatlah, dangding
nya-ring Umar bin Khattab yang berkeliling saban malam, untuk mencari tahu siapa-siapa
dari warganya yang lapar dan mendapat ketidak-adilan. Diam-diam, tanpa abring seremonial.
Maka, pada akhirnya perlu jawab, apakah ghi-rah shoum akan kontinu pada syawal dan setiap bulan berikutnya? Pun, Apakah
sang dzahir mengerti bahwa mutiara
tak pernah ada di permukaan, dan hanya ada di keda-laman? Wahai dangding lan hate anu sare, afalaa yatafakkarun?
--Redaksi--