EDITORIAL
|
BUDAK ANGON MEGALON &
UGA WANGSIT SILIWANGI
Mengingat frame sosiologis atau lingkung dunia kehidupan yang dihadapi hampir
sama, maka dalam tipologi psikis individu manusia terdapat kecenderungan sifat
yang berlaku umum. Apa yang berlaku umum, kemudian dikatakan sebagai normal,
atau manusiawi. Sebaliknya yang bersifat spesifik terbagi dua; yang masih
berdiri sejajar dalam keumuman, dikatakan sebagai sifat khas interaktif. Se-mentara
itu, spesifik yang memusat dengan tidak memberi ruang bagi keumuman. Inilah
penyimpangan, kelainan jiwa (neurosis).
MEGALOMANIA berbeda dengan heroisme.
Sebagai sekadar refleksi peran diri terhadap pahlawan, heroisme masih dipandang
umum dan manusiawi mengingat ia masih berada dalam kontrol rasio sehingga
disadari sebagai khayal temporer. Sementara MEGALOMANIA bersifat memusat,
intens dan menetap. Seperti halnya schizoprenia, split personality, ataupun paranoia, Freud menempatkannya di area
bawah sadar namun ekspansif membe-kap pikiran sadar untuk menjadi nol proses.
Jika heroisme hanyalah ilusi khayal temporer dari pemahlawan diri, maka
MEGALOMANIA adalah pendewaan diri, perasaan menjadi yang bersifat tetap: Semua
atribut dan citra benar, unggul, tinggi, tiada banding, tiada tanding melarut
menguasai rasio sadar.
Sejarah mencatat, tak sedikit orang yang mengaku
diri sebagai nabi. Mengaku sebagai Mesiah, sebagai Mahdi, Wali Mursyid, Ratu Adil,
Satrio Piningit asuhan Sabdo Palon. Dan di Jawa Kulwan (kulon), tak sedikit pula yang mengaku sebagai BUDAK ANGON.
Dalam kronika kebudayaan, BUDAK ANGON pada
dasarnya sepadan dengan Gilgamesh dalam budaya Mesopotamia, titis Amun Ra dalam
budaya Mesir Kuno, Zarathustra di Persia Kuno, Satrio Piningit - Ratu Adil di Jawa
Wetan. Bencana, ketertindasan, ketidakadilan di sepanjang sejarah telah membuat
hampir semua kebudayaan mempersonifikasikan harapan atas adanya sebuah tatanan
ideal, sebuah pulau biru, sorga yang bukan di mahsyar; yang serba ada, serba
adil, serba ekual. Di Jawa Kulwan atau di sunda silih wangi, melalui uga wangsit siliwangi, harapan itu
diratifisir melalui tangan BUDAK ANGON.
Uga
Wangsit Siliwangi, adalah teks pendek
yang lahir di saat Sri Baduga terdesak oleh kekuatan islam, baik dari banten
maupun dari anak-anaknya sendiri. Seiring duga bahwa tatanan binaannya tak akan
bertahan, sebagai wujud penolakan atas tatanan baru islam, ia mewangsitkan
bahwa tatanan ideal miliknya akan kembali muncul, lewat BUDAK ANGON.
Tafsir fenomenologis historis di atas,
baru berbicara harfiah atas dasar konteks kejadian. Dengan husnudhon, tentunya perlu upaya lain secara hermeneutik, pendekatan
atas matan teks ke dalam
paralinguistika: Budak angon adalah pengumpul kalakay jeung tutunggul, ti hulu cai nepi ka lebak cawene. Ajar
luhur Sri Baduga berbicara hakikinya tentang bagai-mana manusia harus mencari,
mencatat (pada lontar, kalakay),
melihat, membumi, belajar dan berbagi dari satu titik (tunggul) ke titik lainnya dari awal sampai akhir (minal mahdi ila lahdi). Tokoh Budak
Angon muncul sejalan tradisi siloka,
yakni agar ajaran tidak menying-gung. Bahwa lantas dalam belajar, budak angon
pergi dengan pemuda berjanggut, menjadi indikator bahwa secara pribadi Sri
Baduga menerima islam.
Hanya saja, atas bekap pendewaan diri, sang
megalon memang tak bisa diharap mampu menafsirkan demikian. Matan teks uga wang-sit saja tak sanggup, apalagi matan teks Al-qur’an. Ia
hanya akan sibuk harfiah. Sibuk menanam atribut handeuleum dan hanjuang. Padahal,
budak angon hakiki, pasti tak sudi menunggang kereta kencana diiring MURI dan
pawai 11.000 pagawe. Pemborosan!
-- Redaksi--