EDITORIAL
|
HITAM – PUTIH TOTEMISME
The idol of
the cave, merupakan istilah filsafat
Baconian yang digunakan untuk mengkla-sifikasi pikiran yang dibekap oleh dunia nilai
bawaan yang intens diterima dan membentuk individu semenjak kecil. Pikiran yang
tak lagi mampu obyektif akibat terkurung dalam goa (cave) dunia nilainya sendiri.
Jauh hari sebelumnya Al-quran telah memak-sudkan model
pikiran tersebut sebagai: “sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta itu, ialah hati yang di dalam
dada.” (QS 22:46)
Lepas dari keluhuran filosofi nilai di dalamnya, budaya;
dengan turunannya berupa tradisi, adalah salah satu bentuk dari idola pengurung
dimaksud. Bagi individu terkurung, eksistensi mulia dari nilai budaya kerap tiada,
tereduksi oleh kecenderungan identifikasi diri berlebih pada atribut-atribut formal
daripadanya. Hamba dunia atribut, tak lagi mampu meng-elaborasi tataran nilai
yang sesungguhnya.
Tipologi idols,
dapat dikatakan sebagai tipo-logi manusia non rasional yang memandang dunia
dalam watak nilai yang serba hitam-putih. Ibarat film india. Jika tipe ini penyuka
wayang, maka bisa ditebak bahwa dengan kehitamputihannya ia akan menjadi pemuja
keluarga pandawa lima. Dunia nilainya adalah Arjuna, Bima, Gatotkaca, atau mungkin
Kresna; “sangkuni”-nya pandawa. Tak ada tempat bagi kemuliaan dan keksatriaan
Bisma Dewabrata, Kumbakarna atau Adipati Karna. Sungguh, sangat bisa ditebak.
Totemisme, ikonoklasme, umumnya merupa-kan ujung dari sebuah
benak dimana pola pikir hitam-putih berfestival di dalamnya. Berhala atribut adalah
bagian terpenting sebagai alat eksist bagi
jati diri super-ego yang telah men-capai
tahap paranoia. Neurosis,
Sebaliknya, dalam islam, uswatun hasanah-lah yang dianggap penting. Suri tauladan, ahlak,
tindakan nilai, bukan tempelan atribut. Nan arif
berkata “bukan dari luar, tetapi dari
dalam”. Dari tindakan itulah, karena luaran bukanlah tindakan.
Rasulullah SAW diriwayatkan, tidak jadi merajam seorang
pezinah mengingat saat itu ia tengah mengandung. Ditundanya hingga ia
melahirkan dan ditundanya lagi hingga waktu sapih, sampai akhirnya beliau
memintakan ampunan dan melepas persoalannya kepada Allah SWT. Kebenaran, tidaklah hitam putih!
Khalifah Umar bin Khattab ra. tidak jadi me-motong
tangan si pencuri mengingat ternyata ia dan keluarganya menderita kelaparan. Beliau
malah menangis, mengingat laparnya publik, baginya merupakan tanggung jawab pemimpin.
Salah, pun tidaklah hitam-putih!
Itulah sebabnya, kenapa Sri Sultan DIY, juga Joko Wi
walikota surakarta, yang dua-duanya produk asli keraton dan menerima didik
budaya sampai ke akar-akarnya, tak pernah berblangkon, berkeris,
berhitam-hitam, atau berhitam putih di depan publik, terkecuali dalam acara
resmi keraton. Semua disebab-kan karena mereka mengerti bahwa elaborasi nilai
dalam bentuk tindakan njawi, ngabdi dalem
pada publik, lebih penting ketimbang atribut pakaian, pagar atau patung. Mereka
tak berjiwa totem.
Jikapun patung memaksa, Kapten Halim, Baing Yusuf tentu
lebih mengakar dalam histori Purwakarta? 361 sakola, 192 Kalurahan /desa,
OPD-OPD, gang-gang oge jalan, dikali biaya pager kahuripan, ditambah saragam,
gempungan, jsb. –Wah miceurik diri, sing sabar wae nya urang
Purwakarta, duka tos sabaraha M nu diangge cucumah nafsu nu migusti diri?
Sumun, bukmun,
umyun....
-- Redaksi--