EDITORIAL
|
ISMAYA JATI PERLAYA
19/10/2011; sejalan inspeksi pasca penghan-curan
patung-patung sehari sebelumnya, dalam satu liputan televisi Bupati menyata-kan;
“tidak akan berhenti menata kota dan membangun filosofi untuk membentuk karak-ter
masyarakat Purwakarta.”
Terdapat beberapa soal yang patut diperta-nyakan
disini. Pertama, filosofi yang mana? –Ibarat seorang artis cilik
sinetron bebicara ten-tang seni. Seni yang mana? Mampukah ia me-ngerti melebihi
kenyataan bahwa ia dibentuk untuk menjadi sebuah komoditas kapital dari dunia
hiburan belaka?
Filosofi; dari philos dan sophos,
merupakan cara berpikir yang tidak hitam putih. Ia bukan saja komprehensif,
tetapi juga radix atau mengakar dimana
nalar kritis diarahkan untuk bekerja menemukan validitas terdalam dari kebenaran
setiap sesuatu. Filsafat atau filo-sofi, menjauh dari penyederhanaan atas nilai-nilai
secara begitu saja. Maka itu, tak pernah ada filsafat Mahabrata atau filsafat
Ramayana dalam Hindu. Terlalu naif. Vedanta, sebagai poros alir filsafat Hindu,
berbasis rigveda, berbicara soal atman dan purusa, yang jikapun mau berbicara soal mahabrata-bharatayuda mungkin
hanya akan menertawakan kepal-suan Kresna, birahi dan kelicikan Arjuna, instanitas
dewa ruci, atau terlalu berpihaknya para dewa.
Ketika Arjuna membunuh Karna; pahlawan-kah
Arjuna? Bagaimana kelakuan dan pengh-inaan Pandawa terhadap Karna sejak lama? Inikah
yang disebut kebenaran? –Bagi yang tahu ceritanya, seharusnya tentu ada keadil-an,
porsi nilai mengingat kebenaran tidaklah sesederhana itu. Inilah soal filsafat.
Soal dari kenapa vedanta tak menyentuh ramayana, mahabrata, ataupun
bharatayuda. Ia hanya sebuah karya cerita, dongengan hitam-putih yang serba remeh temeh ketimbang rigveda. Lalu, filosofi mana yang
dimaksudkannya? –Mungkin filosofi bincang,
karena tampaknya tak mungkin pula ia dapat bicara soal vedanta, budha
nagayurna, ordo jesuit, nestorian, albi-gens, scholastik, asyariyyah,
mu’tazilah, islam perenial, sufisme. Filosofi senantiasa meng-akar pada
realitas. Hakikat bertali syariat, jas-maniah dilengkapi batiniah, inilah tawazun, maksud dari kaffah. Apapun yang tak jelas, wahai? Bukanlah
filosofi, just OMDO.
Kedua,
karakter mana? Masyarakat mana?
Tak ada sedikitpun rumusan nilai yang
mere-presentasikan soal masyarakat dalam cerita mahabrata maupun baratayuda. Nyaris
semua karakter peran yang ada larut dalam alur tematis cinta, kekuasaan,
kalah-menang, ben-da pusaka, pertempuran, klaim dan pengaku-an kebenaran.
Sinetron, menghibur bagi yang tak mampu berpikir. Jauh sekali dari realitas.
Bicara budaya, sebagai budi dan daya yang
melarut dalam jagat makna dan dunia kehi-dupan masyarakat, pun yang mana?
Membuat patung petani mungkin lebih dekat dengan realisme karakter agraris
ketimbang karakter hiper sss dari
arjuna yang tak pernah jadi pe-tani. Lalu karakter mana? Karakter wangkong.
Ketiga, tidak
akan berhenti?
Sumum
bukmun umyun, semestinya perusak-an dapat
diterima legowo dengan sedikit kein-safan. Diplomatisitas pengakuan telah
terlalu memaksakan filosofi, tentunya tak harus rugi demi sebuah kondusifitas juga
simpati balik. Introspeksi saja karena tata kota dan pa-tungisasi, adalah dua hal
beda. Tak perlu ber-lebihan mencap anarki. Gerak reformasi Mei 1998, adalah
soal mirip yang perlu disikapi se-bagai respons ujung dari publik. Yakni, mana-kala
kekuasaan dan saluran representasi yang ada, gagal dalam mendengar, melihat dan
merasakan.
Ismaya jati, tumbang akibat terlalu berpihak pada
kekuasaan. Ia lupa akan Karna atau Bisma. Man
jada wa jada, tafsirkanlah sebagai :“segeralah
berubah/menjadi (jika ingin) untuk menjadi (lagi)”. Afalaa yatafakkarun?
—R edaksi—