" DEDE YUSUF - LAKSAMANA , BEKERJA SEPENUH HATI"

Senin, 16 Januari 2012

ISMAYA JATI PERLAYA - EDITORIAL PUSHINK


EDITORIAL
 
ISMAYA JATI PERLAYA
19/10/2011; sejalan inspeksi pasca penghan-curan patung-patung sehari sebelumnya, dalam satu liputan televisi Bupati menyata-kan; “tidak akan berhenti menata kota dan membangun filosofi untuk membentuk karak-ter masyarakat Purwakarta.”
Terdapat beberapa soal yang patut diperta-nyakan disini. Pertama, filosofi yang mana? –Ibarat seorang artis cilik sinetron bebicara ten-tang seni. Seni yang mana? Mampukah ia me-ngerti melebihi kenyataan bahwa ia dibentuk untuk menjadi sebuah komoditas kapital dari dunia hiburan belaka?
Filosofi; dari philos dan sophos, merupakan cara berpikir yang tidak hitam putih. Ia bukan saja komprehensif, tetapi juga radix atau mengakar dimana nalar kritis diarahkan untuk bekerja menemukan validitas terdalam dari kebenaran setiap sesuatu. Filsafat atau filo-sofi, menjauh dari penyederhanaan atas nilai-nilai secara begitu saja. Maka itu, tak pernah ada filsafat Mahabrata atau filsafat Ramayana dalam Hindu. Terlalu naif. Vedanta, sebagai poros alir filsafat Hindu, berbasis rigveda, berbicara soal atman dan purusa, yang jikapun mau berbicara soal mahabrata-bharatayuda mungkin hanya akan menertawakan kepal-suan Kresna, birahi dan kelicikan Arjuna, instanitas dewa ruci, atau terlalu berpihaknya para dewa.
Ketika Arjuna membunuh Karna; pahlawan-kah Arjuna? Bagaimana kelakuan dan pengh-inaan Pandawa terhadap Karna sejak lama? Inikah yang disebut kebenaran? –Bagi yang tahu ceritanya, seharusnya tentu ada keadil-an, porsi nilai mengingat kebenaran tidaklah sesederhana itu. Inilah soal filsafat. Soal dari kenapa vedanta tak menyentuh ramayana, mahabrata, ataupun bharatayuda. Ia hanya sebuah karya cerita, dongengan hitam-putih yang serba remeh temeh ketimbang rigveda. Lalu, filosofi mana yang dimaksudkannya? –Mungkin filosofi bincang, karena tampaknya tak mungkin pula ia dapat bicara soal vedanta, budha nagayurna, ordo jesuit, nestorian, albi-gens, scholastik, asyariyyah, mu’tazilah, islam perenial, sufisme. Filosofi senantiasa meng-akar pada realitas. Hakikat bertali syariat, jas-maniah dilengkapi batiniah, inilah tawazun, maksud dari kaffah. Apapun yang tak jelas, wahai? Bukanlah filosofi, just OMDO.
Kedua, karakter mana? Masyarakat mana?
Tak ada sedikitpun rumusan nilai yang mere-presentasikan soal masyarakat dalam cerita mahabrata maupun baratayuda. Nyaris semua karakter peran yang ada larut dalam alur tematis cinta, kekuasaan, kalah-menang, ben-da pusaka, pertempuran, klaim dan pengaku-an kebenaran. Sinetron, menghibur bagi yang tak mampu berpikir. Jauh sekali dari realitas.
Bicara budaya, sebagai budi dan daya yang melarut dalam jagat makna dan dunia kehi-dupan masyarakat, pun yang mana? Membuat patung petani mungkin lebih dekat dengan realisme karakter agraris ketimbang karakter hiper sss dari arjuna yang tak pernah jadi pe-tani. Lalu karakter mana? Karakter wangkong.
Ketiga, tidak akan berhenti?
Sumum bukmun umyun, semestinya perusak-an dapat diterima legowo dengan sedikit kein-safan. Diplomatisitas pengakuan telah terlalu memaksakan filosofi, tentunya tak harus rugi demi sebuah kondusifitas juga simpati balik. Introspeksi saja karena tata kota dan pa-tungisasi, adalah dua hal beda. Tak perlu ber-lebihan mencap anarki. Gerak reformasi Mei 1998, adalah soal mirip yang perlu disikapi se-bagai respons ujung dari publik. Yakni, mana-kala kekuasaan dan saluran representasi yang ada, gagal dalam mendengar, melihat dan merasakan.
Ismaya jati, tumbang akibat terlalu berpihak pada kekuasaan. Ia lupa akan Karna atau Bisma. Man jada wa jada, tafsirkanlah sebagai :segeralah berubah/menjadi (jika ingin) untuk menjadi (lagi)”. Afalaa yatafakkarun?
—R edaksi—