PEMANDANGAN UMUM FRAKSI DEMOKRAT
DALAM RAPAT PARIPURNA PEMBICARAAN TINGKAT II
PEMBAHASAN 6 RAPERDA DPRD KABUPATEN PURWAKARTA
TANGGAL 6 OKTOBER 2012
BISMILLAHIRROHMANIRROHIM.
ASSALAMU’ALAIKUM WR. WB.
SALAM SEJAHTERA BAGI KITA SEMUA
YTH. SDR. PIMPINAN RAPAT;
YTH. SDR. BUPATI, WAKIL BUPATI SERTA JAJARAN
PEJABAT PERANGKAT DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA;
YTH. REKAN-REKAN ANGGOTA DPRD KABUPATEN PURWAKARTA; UNSUR MUSPIDA, LSM,
PERS SERTA SELURUH HADIRIN YANG KAMI MULIAKAN
PUJI DAN SYUKUR KAMI PANJATKAN KE HADIRAT ALLAH SWT. MENGINGAT ATAS BERKAT DAN RAHMAT-NYA PULALAH DPRD MASIH DAPAT MENJALANKAN FUNGSI LEGISLASI YANG DIMILIKINYA, SEHINGGA SAAT INI KITA BERSAMA DAPAT HADIR DALAM RAPAT PARIPURNA PEMBICARAAN TINGKAT II PEMBAHASAN 6 (ENAM) RANCANGAN PERATURAN DAERAH, BAIK YANG BERASAL DARI USUL EKSEKUTIF MAUPUN DARI USUL PRAKARSA DPRD SENDIRI.
SHOLAWAT, SALAM, DAN KEBERKAHAN, SEMOGA TERLIMPAH SEBAGAI HAK ILAHIAH BAGI ROHMATAN LIL ‘ALAMIN: NABI BESAR MUHAMMAD S.A.W, KEPADA KELUARGANYA, PARA SAHABATNYA, PARA TABI’IN, DAN TAK LUPA BAGI KITA SEMUA YANG DALAM BENTUK DAN CARANYA MASING-MASING TELAH BERUPAYA MENGIKUTI SETIAP JEJAK YANG DICONTOHKANNYA.
RAPAT DEWAN YANG KAMI HORMATI,
BERDASARKAN HASIL RAPAT FRAKSI DALAM RANGKA MELAKUKAN EVALUASI DAN ANALISIS ATAS KEENAM RAPERDA YANG TELAH DIBAHAS OLEH KOMISI-KOMISI SELAKU PANSUSNYA, TERDAPAT BEBERAPA CATATAN YANG KAMI RASA PENTING DAN PERLU KAMI SAMPAIKAN. YAKNI, SEBAGAI BERIKUT :
1. RAPERDA TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR
SEJALAN KETENTUAN PASAL 34 AYAT (1) UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945 YANG MENYATAKAN BAHWA “FAKIR MISKIN DAN ANAK TERLANTAR DIPELIHARA OLEH NEGARA”, DAPAT KAMI KATAKAN BAHWA URUSAN PEMELIHARAAN ANAK TERLANTAR SEBENARNYA MERUPAKAN KEWAJIBAN YANG BERSIFAT BERADA DI ATAS DAN/ATAU MELEBIHI SEKADAR URUSAN WAJIB YANG DIPILAH DENGAN URUSAN PILIHAN SEBAGAIMANA DIATUR DALAM UU 32 TAHUN 2004 . HAL INI SEHUBUNGAN AMARNYA YANG DIPERINTAHKAN LANGSUNG OLEH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERADA DALAM DERAJAT HIRARKI TERTINGGI DAN SEBAGAI HUKUM DASAR YANG DIMILIKI OLEH NEGARA INDONESIA, YAKNI UUD 1945. DENGAN DEMIKIAN, DAPAT DIKATAKAN BAHWA PERLINDUNGAN ATAU PEMERLIHARAAN ANAK TERLANTAR SEBAGAI URUSAN SANGAT WAJIB.
SEJALAN AMANAT HUKUM DASAR TERSEBUT, SUBSTANSINYA USUL PRAKARSA DPRD ATAS RAPERDA PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR BERPIJAK PADA KEKURANG-BERPIHAKAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KEBERADAAN ANAK-ANAK TERLANTAR SELAMA INI. 941 ANAK TERLANTAR YANG TERCATAT BERADA PANTI-PANTI OLEH DISNAKERSOSTRANS, PADA KENYATAANNYA KURANG TERURUS, TERBERDAYAKAN DAN TERSUBSIDI DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH. BEBERAPA BAHKAN PANTI SAMPAI HARUS MENUNGGAK BIAYA SEKOLAH ANAK-ANAK TERLANTAR YANG DIASUHNYA YANG TELAH MENGINJAK USIA SEKOLAH MENENGAH ATAS. HAL INI BELUM TERMASUK ANAK-ANAK TERLANTAR YANG TIDAK TERCATAT, YANG BERADA TERSEBAR DI TENGAH LINGKUNGAN MASYARAKAT DAN KELUARGA-KELUARGA YANG SECARA EKONOMI TIDAK MAMPU.
KONDISI TERSEBUT KAMI AMATI BERTOLAK BELAKANG DENGAN PENGANGGARAN BEBERAPA INFRASTUKTUR, YANG SAMPAI SAAT INI SEKALIPUN SEBENARNYA MASIH HARUS DIPERTANYAKAN SEJAUHMANA KEPERLUAN DAN MANFAAT YANG DIBERIKANNYA KEPADA MASYARAKAT. ATAS DASAR INILAH PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR KAMI PANDANG HARUS DILAHIRKAN DALAM SEBENTUK PRODUK HUKUM, YAKNI DEMI TERDAPATNYA KOERSI BAGI UPAYA PENEGAKAN KEADILAN DAN KEMANFAATAN UMUM YANG DAPAT MELAHIRKAN PROPORSI DAN PERIMBANGAN DALAM PENGALOKASIAN ANG-GARAN BAGI ANAK TERLANTAR. JANGAN SAMPAI URUSAN YANG SANGAT WAJIB INI, DIKALAHKAN BEGITU SAJA OLEH URUSAN LAIN, APALAGI SEKADAR URUSAN PILIHAN YANG TIDAK JELAS MANFAATNYA.
APRESIASI KAMI SAMPAIKAN ATAS KERJA KERAS KOMISI IV DALAM MENYELESAIKAN MATERI MUATAN DARI RAPERDA INI. TAK PERLU ADA PEMILAHAN TERHADAP MANA ANAK TERLANTAR PENDATANG ATAU MANA ANAK TERLANTAR PRIBUMI, MENGINGAT SEMUA ANAK YANG ADA DI WILAYAH KITA WAJIB KITA LINDUNGI DAN PELIHARA. KAMI BERHARAP PULA BAHWA SEJALAN KETENTUAN PASAL 35 DALAM RAPERDA INI, PURWAKARTA DAPAT MENJADI PEMERINTAH DAERAH KELIMA DI PROVINSI JAWA BARAT YANG MEMILIKI PANTI SOSIAL SENDIRI.
“ANAK, SIAPAPUN ITU, ADALAH INVESTASI BAGI MASA DEPAN KITA SEMUA”. MANAKALA KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH JUSTRU TELAH MEMINGGIRKANNYA, INSYA ALLAH KAMI AKAN MENJADI FRAKSI TERDEPAN YANG AKAN MENGUPAYAKAN PERLINDUNGAN DAN PEMELIHARAANNYA. OLEH KARENA ITU, SEIRING DENGAN ANGGARAN MURNI APBD 2013 YANG MASIH DALAM PEMBAHASAN, KAMI MEMINTA AGAR PADA DISNAKERSOSTRANS TERDAPAT ALOKASI ANGGARAN, BAGI SETIAP KEPALA ANAK TERLANTAR YANG ADA DI PURWAKARTA YANG DIPERUNTUKAN BAGI TANGGUNGAN BIAYA PANGAN, SANDANG, SEKOLAH DAN KESEHATANNYA DALAM APBD 2013. CUKUPLAH DI HARI JADI PURWAKARTA TAHUN DEPAN, KITA MELUANGKAN WAKTU 5 MENIT UNTUK MENGHENINGKAN CIPTA DAN BERDO’A BERSAMA UNTUK KEMAJUAN PURWAKARTA, SEMENTARA SEMUA ANGGARANNYA KITA RUBAH ALOKASIKAN UNTUK PEMELIHARAAN ANAK-ANAK TERLANTAR YANG PADA FAKTANYA ADA DAN KITA MILIKI.
2. RAPERDA TENTANG TARIF PELAYANAN KESEHATAN PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BAYU ASIH KABUPATEN PURWAKARTA
SEJALAN KETENTUAN PASAL 50 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT, DINYATAKAN BAHWA: “BESARAN TARIF KELAS III RUMAH SAKIT YANG DIKELOLA PEMERINTAH DAERAH DITETAPKAN DENGAN PERATURAN DAERAH”. LOGIKA HUKUMNYA, TERLETAK PADA PENGKHUSUSAN TERHADAP BESARAN TARIF KELAS III YANG HARUS MENDAPAT PEMBAHASAN, PERSETUJUAN DAN KESEPAKATAN DARI DPRD. HAL INI TAK LAIN, SEHUBUNGAN TARIF DIMAKSUD ADALAH TARIF YANG AKAN BERKENAAN LANGSUNG MASYARAKAT PADA UMUMNYA.
SEBAGAI TARIF YANG MEREPRESENTASIKAN KEPENTINGAN MASYARAKAT, TENTU POLA TARIF YANG DITETAPKANNYA HARUS BERSIFAT SUBSIDIER, TIDAK MEMBEBANI DAN SEBENAR-BENARNYA DIDASARKAN PADA PENGHITUNGAN ATAS KEMAMPUAN EKONOMI MASYARAKAT. POLA TARIF, DIDEFINISIKAN DALAM KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1165/MENKES/SK/X/2007 TENTANG POLA TARIF RUMAH SAKIT BLU SEBAGAI “PENGATURAN DAN PENGHITUNGAN BESARAN TARIF RUMAH SAKIT YANG DIDASARKAN PADA PRINSIP-PRINSIP AKUNTANSI NIRLABA”.
DENGAN DEMIKIAN, FRAKSI KAMI MEMANDANG BAHWA TARIF DALAM RAPERDA INI ADALAH TARIF NIRLABA. TARIFNYA DISUBSIDI OLEH TARIF KELAS II, KELAS I DAN KELAS VIP. UNTUK ITU BERLANDASKAN PRINSIP NIRLABA DIMAKSUD, TERHADAP SATUAN TARIF DALAM LAMPIRAN, FRAKSI KAMI HANYA SEPAKAT ATAS JASA SARANANYA SAJA, DAN TIDAK SEPAKAT ATAS PEMBERLAKUAN JASA PELAYANAN DI DALAMNYA. JIKA JASA PELAYANAN DIMAKSUD TURUT DIBERLAKUKAN, MAKA BUKAN HANYA POLA TARIFNYA SUDAH KELUAR DARI KAIDAH NIRLABA DAN SIFAT SUBSIDIERNYA, NAMUN LEBIH DARI ITU, KAMI PERTANYAKAN PULA INTEGRITAS, MORALITAS DAN PENGABDIAN DARI PARA TENAGA MEDIS YANG ADA. HARUSKAH MENYERAP KEUNTUNGAN PELAYANAN BAGI KELAS III, SEMENTARA GAJI DAN TUNJANGAN SUDAH TERSEDIA? –UNTUK ITU, KHUSUS JASA PELAYANAN SILAHKAN TERAPKAN UNTUK KELAS II, I DAN VIP, BUKAN DI KELAS III.
SELAIN ITU, KAMI MENGUSULKAN AGAR DITAMBAHKAN 1 (SATU) BAB BARU YANG MENGATUR TENTANG HAK-HAK PASIEN DAN PENYAMPAIAN KEBERATAN PASIEN ATAS KUALITAS LAYANAN. JIKA PASIEN TERLAMBAT BAYAR SAJA, DIDENDA 2%, SEHARUSNYA TERHADAP PARA DOKTER YANG MANGKIR DARI KEWAJIBAN VISIT, YANG TIDAK RAMAH DAN BERKUALITAS DALAM PELAYANANNYA, PASIEN JUGA MEMILIKI HAK UNTUK MENYATAKAN KEBERATAN. DENGAN DEMIKIAN, DALAM HAL TARIF INI RSUD JANGAN HANYA BICARA SOAL HAKNYA SAJA ATAS TARIF, TETAPI JUGA BERBICARA HAK-HAK PASIEN. TAMBAHAN BAB YANG MENGATUR ITU, KAMI USULKAN DAN KAMI TUNTUTKAN SEBAGAI PEMANDANGAN FRAKSI DALAM FASE AKHIR PERUMUSAN RAPERDA MELALUI PARIPURNA INI.
3. RAPERDA TENTANG PENGELOLAAN PENYEHATAN LINGKUNGAN TEMPAT USAHA, INDUSTRI, SARANA KESEHATAN DAN PEMUKIMAN DI KAB. PURWAKARTA
UNTUK RAPERDA INI, DILUAR SUBSTANSINYA YANG MEMANG AMAT DIPERLUKAN UNTUK MEWUJUDKAN LINGKUNGAN DAN MASYARAKAT YANG SEHAT. PERLU KAMI SAMPAIKAN APA YANG SEMPAT DITEGASKAN DALAM RAPAT GABUNGAN KOMISI SEBELUMNYA, BAHWA PADA INTINYA KESEHATAN MEMANG MELINGKUPI SETIAP BENTUK KERJA SEKTORAL DAN URUSAN BIDANG-BIDANG. KESEHATAN MERUPAKAN WILAYAH CROSS CUTTING ISSUE. NAMUN DEMIKIAN HAL INI TIDAK PULA BERARTI DINAS KESEHATAN SEBAGAI LEADING SECTOR-NYA BERSIFAT MELINGKUPI DAN MAMPU MELINGKUPINYA. OLEH KARENA ITU, KAIDAH PEMERIKSAAN SEBAGAIMANA TERTUANG PADA PASAL 5 DAN PASAL 6 RAPERDA YANG BERSIFAT KOMPREHENSIF TERSEBUT; MULAI DARI PEMERIKSAAN LOKASI, BAHAN BANGUNAN, GETARAN, KEBISINGAN, SAMPAI DENGAN PENGHIJAUAN, PERLU DITUNJANG DENGAN SATU PASAL ATAU BAB YANG MEMERINTAHKAN BERLAKUNYA KOORDINASI. YAKNI, AGAR DINAS KESEHATAN TIDAK BERJALAN SENDIRIAN DAN MELAKUKAN OVER LAPPING DALAM AKTIFITAS PEMERIKSAANNYA.
DENGAN DEMIKIAN PADA AKHIRNYA KAMI MENGUSULKAN PENAMBAHAN BAB SEBAGAI BABA VIII KOORDINASI PEMERIKSAAN DENGAN 1 (SATU) PASAL SEBAGAI PASAL 19 DENGAN BUNYI TEKS PASAL BERUPA: “DALAM MELAKUKAN PEMERIKSAAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD PADA PASAL 5 DAN PASAL 6, DINAS MELAKUKAN KOORDINASI DENGAN OPD-OPD TERKAIT.”
BAB VIII SEBELUMNYA DAN BAB-BAB SELANJUTNYA, SERTA PASAL 19 SEBELUMNYA DAN PASAL-PASAL SELANJUTNYA BERTAMBAH 1 ANGKA DAN MENYESUAIKAN SECARA BERTURUT-TURUT.
4. RAPERDA TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
SEJALAN KETENTUAN PASAL 180 ANGKA 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH, MAKA BERLAKU EFEKTIFNYA PERALIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN MENJADI BAGIAN DARI PAJAK DAERAH AKAN DIMULAI PER 1 JANUARI 2014. DENGAN DEMIKIAN, MASIH TERDAPAT WAKTU 1 (SATU) TAHUN LEBIH BAGI KITA UNTUK MEMPERSIAPKAN SARANA DAN PRASARANANYA.
BERDASARKAN DIMENSI WAKTU TERSEBUT PULALAH, DAPAT KAMI KATAKAN BAHWA SEBENARNYA PENYEPAKATAN RAPERDA INI TERBILANG PREMATUR, TERLEBIH JIKA MENGINGAT BAHWA DPRD MASIH MEMILIKI BANYAK PEKERJAAN RUMAH BERUPA RAPERDA-RAPERDA LAINNYA YANG BELUM JUGA DISELESAIKAN. NAMUN DEMIKIAN, HAL INI TIDAK BERARTI KAMI MEMANDANG RAPERDA INI PERLU DITUNDA, TETAPI KAMI HANYA MENYATAKAN KRITISI ATAS KINERJA PEMBAHASAN SEHINGGA KAMI RASA KALI INIPUN AKAN TERDAPAT RAPERDA-RAPERDA DALAM PROLEGDA YANG AKAN LINTAS WAKTU DAN MENJADI PEKERJAAN RUMAH BAGI DPRD SENDIRI DI TAHUN 2013.
RAPAT DEWAN YANG KAMI HORMATI,
TERHADAP RAPERDA PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN INI, YANG PERLU KAMI SAMPAIKAN ADALAH :
PERTAMA, SOAL ADOPSI KETENTUAN PASAL 77 DAN PASAL 80 DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH. PASAL 80 AYAT (1) UNDANG-UNDANG DIMAKSUD MENYATAKAN BAHWA TARIF PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DITETAPKAN PALING TINGGI SEBESAR 0,3% (NOL KOMA TIGA PERSEN). HAL INI DIADOPSI SECARA KONDISIONAL DALAM RAPERDA PADA PASAL 6 AYAT (1) DAN AYAT (2) DALAM BENTUK PENETAPAN TARIF PAJAK 0,1% DAN 0,2%. KAMI MENYAMPAIKAN APRESIASI KAMI ATAS HAL INI. AKAN TETAPI SEBALIKNYA, UNTUK KETENTUAN PASAL 77 AYAT (4) YANG MENYATAKAN BAHWA “BESARNYA NILAI JUAL OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK DITETAPKAN PALING RENDAH SEBESAR Rp. 10.000.000,00 (SEPULUH JUTA RUPIAH) UNTUK SETIAP WAJIB PAJAK”, TIDAK DIADOPSI NILAINYA BERDASARKAN ANALISIS KONDISIONAL DIMAKSUD. UNTUK ITU, MENGINGAT SEIRING TINGKAT INFLASI BERKELANJUTAN YANG MENGGERUS KONDISI PEREKONOMIAN MASYARAKAT PURWAKARTA, MAKA KAMI PUN MENGINGINKAN DAN MENGUSULKAN AGAR NILAI NJOP TIDAK KENA PAJAK, DAPAT DINAIKKAN MENJADI SEBESAR Rp. 20.000.000,- (DUA PULUH JUTA RUPIAH), SEHINGGA KIRANYA RASIO BEBAN MASYARAKAT DAPAT SEDIKITNYA TERKURANGI.
KEDUA, SEBAGAIMANA TELAH DIUNGKAPKAN OLEH SALAH SATU ANGGOTA DPRD DALAM RAPAT GABUNGAN KOMISI PERIHAL TEKS AWAL DALAM BUNYI KETENTUAN PASAL 27 AYAT (1) YANG MENYATAKAN “SETIAP PEJABAT DILARANG MEMBERITAHUKAN KEPADA PIHAK LAIN SEGALA SESUATU YANG DIKETAHUI.., DST”. KAMI MEMANDANG AGAR DIPERJELAS, SEHINGGA TIDAK DIARTIKAN TERLALU MELUAS DAN KARENANYA DAPAT PULA MELANGGAR KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. HARUS ADA PENEGASAN BAHWA INFORMASI BERSIFAT RAHASIA DIMAKSUD, SEPANJANG BERKAITAN DENGAN DATA PRIVAT DAN DATA DETAIL PER SATUAN WAJIB PAJAK, BUKAN DATA AGREGAT YANG BERSIFAT UMUM DIMANA PELAPORAN DAN PENETAPANNYA SEBAGAI BAGIAN DARI INFORMASI YANG BERSIFAT PUBLIK JUSTRU MENJADI WAJIB SEJALAN PERLUNYA AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI DALAM PENGELOLAAN PAJAK, MAUPUN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SECARA KESELURUHAN. KAMI MEMANDANG KETENTUAN PASAL 27 DALAM RAPERDA INI, TERMASUK KETENTUANNYA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009, MEREPRESENTASIKAN INTRANSPARANSI YANG SELAMA INI MEWARNAI DAN MENGHASILKAN BANYAK KASUS DALAM PENGELOLAAN PAJAK DI TINGKAT NASIONAL.
DI LEVEL UNDANG-UNDANG, KETENTUAN INI TIDAK MEMBERLAKUKAN ASAS BINDING FORCE OF PRESEDENT, BAHWA SETIAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERSIFAT SALING TERKAIT. UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 DIFORMULASIKAN TANPA MELAKUKAN PERTAUTAN LOGIS DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008. IRONISNYA, SEBAGAI PRODUK HUKUM YANG SEHARUSNYA BERSIFAT PENJABARAN, RAPERDA INIPUN MELAKUKAN KESALAHAN YANG SAMA. BUDAYA COPY PASTE, DALAM FORMULASI KEBIJAKAN AMAT SANGAT DISAYANGKAN. UNTUK ITU, KETENTUAN PASAL 27 KAMI HARAP DAPAT DIRASIONALISASIKAN LAGI, AGAR TIDAK BERARTI PENENTANGAN TERHADAP TRANSPARANSI DAN/ATAU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK, SERTA AGAR BUNYI KETENTUANNYA DAPAT DIMENGERTI OLEH MASYARAKAT SELAKU SUBYEK DAN OBYEK ATURAN.
5. RAPERDA TENTANG PENYELENGGARAAN PASAR TRADISIONAL, PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN
RAPERDA USUL PRAKARSA DPRD INI, SEDARI AWAL KAMI TANGKAP SUBSTANSINYA DINIATKAN SEBAGAI SEBUAH KEPERLUAN HUKUM UNTUK MELINDUNGI, MEMBERIKAN PROTEKSI TERHADAP USAHA-USAHA MIKRO DAN KECIL YANG ADA DI TENGAH AKTIFITAS EKONOMI MASYARAKAT. HAL INI TERTUANG DALAM KONSIDERAN MENIMBANG RAPERDA YANG PADA DASARNYA MERUPAKAN SEBUAH CANTUMAN DARI RECHTSIDEE ATAU CITA HUKUM YANG INGIN DIWUJUDKAN MELALUI PENGATURAN DALAM BATANG TUBUH RAPERDA. KARAKTERISTIK SOSIOLOGIS, MERUPAKAN CIRI YANG SEWAJARNYA MELATARBELAKANGI RAPERDA YANG BERASAL DARI USUL PRAKARSA DPRD, MENGINGAT POSISI DPRD SEBAGAI LEMBAGA YANG MEWAKILI KEBERADAAN RAKYAT.
ATAS DASAR INILAH, KAMI MERASA PERLU UNTUK MENYAMPAIKAN PERIHAL KONSISTENSI RAPERDA UNTUK TETAP BERADA DALAM KEBERPIHAKANNYA KEPADA PUBLIK. MANAKALA PEMBAHASANNYA TELAH MELENCENG DARI NIATAN SEMULA, BAIK OLEH SEBAB EKSEKUTIF MAUPUN PARSIAL LEGISLATIF SENDIRI, TENTU SUDAH MENJADI KEWAJIBAN BAGI FRAKSI KAMI UNTUK MENGINGATKAN.
DESCRIPTION TRAP, ATAU JEBAKAN DESKRIPSI, DIMANA SUBTANSI DALAM CITA HUKUMNYA DITERJEMAHKAN TERLALU MELUAS KESANA KEMARI, KAMI RASA PERLU KAMI KETENGAHKAN AMAT KELIHATAN DALAM RAPERDA INI. MULAI DARI BAB VII PASAL 29 SAMPAI DENGAN PASAL 68, ATAU KURANG LEBIH SEBANYAK 40 PASAL, RAPERDA INI MENGATUR SECARA BERKEPANJANGAN PERIHAL PERIZINAN, SAMPAI KE SOAL ETIKA DAN KEWAJIBAN PEJABAT DALAM PENYELENGGARAAN PERIZINAN. PADAHAL, CUKUP DENGAN 3 (TIGA) PARAGRAF, YAKNI PARAGRAF 1 PERIHAL JENIS-JENIS IZIN, PARAGRAF 2 PERSYARATAN PERIZINAN, DAN PARAGRAF 3 PERIHAL KEWENANGAN DAN LOKASI PELAYANAN IZIN BAB PERIZINAN TERSEBUT SELESAI. TAK PERLU MENGATUR LAGI SOAL ETIKA, DISIPLIN DAN STANDAR PELAYANAN PERIZINAN, MENGINGAT HAL ITU SUDAH DIATUR SEBAGAI S-O-P YANG SUDAH MENJADI BAGIAN MELEKAT DALAM PELAKSANAAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI YANG DIMILIKI OLEH BPM-PTSP TERHADAP SETIAP BENTUK IZIN YANG DILAYANINYA. PASAL 44, 45 DAN 46, SERTA PADA PASAL SELANJUTNYA TERJADI BANYAK PENGULANGAN YANG SUBSTANSINYA NYARIS SAMA SAJA, SEHINGGA MEMBUAT BATANG TUBUH RAPERDA, MENGGELEMBUNG NAMUN KELUAR DARI LOKUS MATERI MUATAN YANG DIINGINKAN. WALHASIL, KAMI MEMANDANG RAPERDA INI, JIKA TIDAK DIPERBAIKI, AKAN JAUH DARI KRITERIA SINGKAT DAN PADAT, DAN PENGATURANNYA TELAH MELEBAR TERLALU JAUH. SUBSTANSI RAPERDA TERLETAK HANYA PADA PASAL 1 SAMPAI DENGAN PASAL 28, DAN JIKA DI TAMBAH DENGAN BAB PERIZINAN SEBAGAIMANA YANG KAMI PANDANG CUKUP 3 PARAGRAF DIMAKSUD, DITAMBAH SOAL PEMBINAAN SAMPAI KEPADA KETENTUAN PENUTUP, MAKA KAMI RASA RAPERDA INI CUKUP HANYA DENGAN KURANG LEBIH 40 PASAL SAJA. DALAM HAL INI, SEMOGA BAGIAN HUKUM SETDA DAN BAGIAN RISDANG SETWAN DAPAT MEMPERBAIKI DRAFTING-NYA.
KEDUA, SENADA DENGAN APA YANG TELAH DISAMPAIKAN OLEH BEBERAPA ANGGOTA DPRD DALAM RAPAT GABUNGAN KOMISI SEBELUMNYA. PERTANYAANNYA APAKAH RAPERDA INI KELAK, TIDAK SEBAIKNYA DIBERLAKUKAN SURUT, DIBERLAKUKAN RETROAKTIF? –HAL INI SEJALAN DENGAN INFORMASI DARI BPM-PTSP BAHWA BERDIRINYA MINIMARKET YANG MENJAMUR BELAKANGAN INI, SEBAGIAN BESAR TIDAK MEMILIKI ZIN YANG JELAS. APALAGI UNTUK SEKADAR MEMENUHI KEWAJIBAN ANALISIS SOSIAL EKONOMI, KEWAJIBAN KEMITRAAN, KEWAJIBAN UNTUK TIDAK MELAKUKAN MONOPOLI, SEMUANYA TENTU TAK PERLU DIPENUHI MENGINGAT PINTU PERTAMA BERUPA PERIZINAN PUN TAK DIMILIKI. UNTUK ITU DEMI KETERTIBAN, KEPATUTAN ATAS HUKUM, DAN SIKAP KONSEKUEN LEMBAGA LEGISLATIF, KAMI MEMINTA AGAR DALAM KETENTUAN PENUTUP RAPERDA INI DINYATAKAN BAHWA PERATURAN DAERAH INI DIBERLAKUKAN SURUT. SEHINGGA SETIAP JAMURAN MINIMARKET SAAT INI, HARUS DIBEKUKAN SELAMA BELUM MEMILIKI IZIN, HARUS PULA MEMILIKI HASIL ANALISIS SOSIAL EKONOMI DARI LEMBAGA INDEPENDEN, HARUS MENJALANKAN KEMITRAAN APABILA PROSES IZINNYA DITEMPUH PADA SAAT DIBEKUKAN.
KETIGA, SOAL PENGAWASAN DAN SANKSI PIDANA. PASAL 22 HURUF A MEMBERIKAN LARANGAN KEPADA TOKO MODERN UNTUK MELAKUKAN MONOPOLI. FAKTANYA HAMPIR DI SEMUA MINIMARKET, MULAI DARI GULA PASIR, MAKANAN RINGAN, SAMPAI KE LAMPU DAN ALAT-ALAT TULIS TELAH DIBUBUHI MERK MINIMARKET YANG BERSANGKUTAN. TIDAK TERDAPAT RUANG BAGI PRODUK LOKAL UNTUK TURUT DIPASARKAN. NAMUN PADA BAB XI SANKSI PIDANA PASAL 74 HANYA MENCANTUMKAN PASAL 22 HURUF F SAJA, SEHARUSNYA KESELURUHAN PASAL 22.
KEEMPAT, DENGAN PENAMAAN YANG SAMA DALAM HAL TOKO MODERN, MESKIPUN BERBEDA-BEDA LOKASI, MAKA JELAS TOKO TERSEBUT MERUPAKAN SEJENIS BISNIS FRANCHISE YANG MENJADI BAGIAN DARI USAHA WARALABA. DENGAN DEMIKIAN, BUKAN HANYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG WARALABA PERLU DIMASUKKAN SEBAGAI BAGIAN DARI LANDASAN YURIDIS RAPERDA. TETAPI LEBIH DARI ITU BAHWA SETIAP MINIMARKET, DIPERSYARATI PERIZINANNYA DENGAN KEPEMILIKAN STPW YANG DIKELUARKAN OLEH MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. TANPA STPW, MAKA TAK ADA IZIN YANG DAPAT DIKELUARKAN OLEH DAERAH TERKAIT DENGAN MINIMARKET TERSEBUT.
6. RAPERDA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN
UNTUK RAPERDA INI, SAMA DENGAN RAPERDA PENGELOLAAN PENYEHATAN LINGKUNGAN TEMPAT USAHA, INDUSTRI, SARANA KESEHATAN DAN PEMUKIMAN, DALAM ARTI PENGATURANNYA TELAH DILANDASKAN PADA KEPERLUAN BERSIFAT RIIL. HANYA SAJA ASPEK KOORDINASI PERLU KAMI TEKANKAN UNTUK DIATUR. BERBAGAI PEMERIKSAAN DALAM SEKTORNYA MASING-MASING, KIRANYA DAPAT MENJADI SEBUAH PROSES PEMERIKSAAN GABUNGAN DI TAHAP AWAL, SERTA PEMERIKSAAN GABUNGAN BERKALA. HAL INI TAK LAIN, AGAR SEKTOR SWASTA TAK TERLALU DIPUSINGKAN DENGAN PEMERIKSAAN-PEMERIKSAAN SECARA TERPISAH-PISAH YANG TENTUNYA MEMAKAN WAKTU. SEKTOR USAHA, SEKTOR INDUSTRI SETIAP MINGGUNYA ATAU BULANNYA TELAH TERLALU BANYAK MENERIMA INSPEKSI. BILA PERLU TINDAK LANJUT DARI SEMUA RAPERDA YANG MENGATUR PEMERIKSAAN MULTI SEKTOR INI DIATUR MELALUI PERATURAN BUPATI UNTUK DIJADIKAN AKTIFITAS GABUNGAN, BUKAN LAGI SATUAN-SATUAN YANG BERJALAN SENDIRI-SENDIRI DAN MENYULITKAN PARA PEMANGKU KEPENTINGAN.
RAPAT DEWAN YANG KAMI HORMATI,
DEMIKIAN POKOK-POKOK PIKIRAN YANG DAPAT KAMI SAMPAIKAN SEBAGAI PEMANDANGAN UMUM FRAKSI DEMOKRAT. KAMI MEMOHON MAAF APABILA TERDAPAT SAMPAIAN YANG KIRANYA MENYINGGUNG DAN TIDAK PADA TEMPATNYA. SEMUANYA TAK LAIN DEMI TERCAPAINYA PERBAIKAN DALAM PENJALANAN TUGAS DAN FUNGSI KITA BERSAMA SELAKU UNSUR PENYELENGGARA PEMERINTAHAN DAERAH YANG TENTU HARUS MENGEDEPANKAN PELAYANAN PUBLIK DAN PEMBERIAN MANFAAT BAGI MEREKA SEMUA.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH,
BILLAHI TAUFIK WAL HIDAYAH, WASSALAMU ‘ALAIKUM WR. WB.
SHOLAWAT, SALAM, DAN KEBERKAHAN, SEMOGA TERLIMPAH SEBAGAI HAK ILAHIAH BAGI ROHMATAN LIL ‘ALAMIN: NABI BESAR MUHAMMAD S.A.W, KEPADA KELUARGANYA, PARA SAHABATNYA, PARA TABI’IN, DAN TAK LUPA BAGI KITA SEMUA YANG DALAM BENTUK DAN CARANYA MASING-MASING TELAH BERUPAYA MENGIKUTI SETIAP JEJAK YANG DICONTOHKANNYA.
RAPAT DEWAN YANG KAMI HORMATI,
BERDASARKAN HASIL RAPAT FRAKSI DALAM RANGKA MELAKUKAN EVALUASI DAN ANALISIS ATAS KEENAM RAPERDA YANG TELAH DIBAHAS OLEH KOMISI-KOMISI SELAKU PANSUSNYA, TERDAPAT BEBERAPA CATATAN YANG KAMI RASA PENTING DAN PERLU KAMI SAMPAIKAN. YAKNI, SEBAGAI BERIKUT :
1. RAPERDA TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR
SEJALAN KETENTUAN PASAL 34 AYAT (1) UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945 YANG MENYATAKAN BAHWA “FAKIR MISKIN DAN ANAK TERLANTAR DIPELIHARA OLEH NEGARA”, DAPAT KAMI KATAKAN BAHWA URUSAN PEMELIHARAAN ANAK TERLANTAR SEBENARNYA MERUPAKAN KEWAJIBAN YANG BERSIFAT BERADA DI ATAS DAN/ATAU MELEBIHI SEKADAR URUSAN WAJIB YANG DIPILAH DENGAN URUSAN PILIHAN SEBAGAIMANA DIATUR DALAM UU 32 TAHUN 2004 . HAL INI SEHUBUNGAN AMARNYA YANG DIPERINTAHKAN LANGSUNG OLEH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERADA DALAM DERAJAT HIRARKI TERTINGGI DAN SEBAGAI HUKUM DASAR YANG DIMILIKI OLEH NEGARA INDONESIA, YAKNI UUD 1945. DENGAN DEMIKIAN, DAPAT DIKATAKAN BAHWA PERLINDUNGAN ATAU PEMERLIHARAAN ANAK TERLANTAR SEBAGAI URUSAN SANGAT WAJIB.
SEJALAN AMANAT HUKUM DASAR TERSEBUT, SUBSTANSINYA USUL PRAKARSA DPRD ATAS RAPERDA PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR BERPIJAK PADA KEKURANG-BERPIHAKAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KEBERADAAN ANAK-ANAK TERLANTAR SELAMA INI. 941 ANAK TERLANTAR YANG TERCATAT BERADA PANTI-PANTI OLEH DISNAKERSOSTRANS, PADA KENYATAANNYA KURANG TERURUS, TERBERDAYAKAN DAN TERSUBSIDI DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH. BEBERAPA BAHKAN PANTI SAMPAI HARUS MENUNGGAK BIAYA SEKOLAH ANAK-ANAK TERLANTAR YANG DIASUHNYA YANG TELAH MENGINJAK USIA SEKOLAH MENENGAH ATAS. HAL INI BELUM TERMASUK ANAK-ANAK TERLANTAR YANG TIDAK TERCATAT, YANG BERADA TERSEBAR DI TENGAH LINGKUNGAN MASYARAKAT DAN KELUARGA-KELUARGA YANG SECARA EKONOMI TIDAK MAMPU.
KONDISI TERSEBUT KAMI AMATI BERTOLAK BELAKANG DENGAN PENGANGGARAN BEBERAPA INFRASTUKTUR, YANG SAMPAI SAAT INI SEKALIPUN SEBENARNYA MASIH HARUS DIPERTANYAKAN SEJAUHMANA KEPERLUAN DAN MANFAAT YANG DIBERIKANNYA KEPADA MASYARAKAT. ATAS DASAR INILAH PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR KAMI PANDANG HARUS DILAHIRKAN DALAM SEBENTUK PRODUK HUKUM, YAKNI DEMI TERDAPATNYA KOERSI BAGI UPAYA PENEGAKAN KEADILAN DAN KEMANFAATAN UMUM YANG DAPAT MELAHIRKAN PROPORSI DAN PERIMBANGAN DALAM PENGALOKASIAN ANG-GARAN BAGI ANAK TERLANTAR. JANGAN SAMPAI URUSAN YANG SANGAT WAJIB INI, DIKALAHKAN BEGITU SAJA OLEH URUSAN LAIN, APALAGI SEKADAR URUSAN PILIHAN YANG TIDAK JELAS MANFAATNYA.
APRESIASI KAMI SAMPAIKAN ATAS KERJA KERAS KOMISI IV DALAM MENYELESAIKAN MATERI MUATAN DARI RAPERDA INI. TAK PERLU ADA PEMILAHAN TERHADAP MANA ANAK TERLANTAR PENDATANG ATAU MANA ANAK TERLANTAR PRIBUMI, MENGINGAT SEMUA ANAK YANG ADA DI WILAYAH KITA WAJIB KITA LINDUNGI DAN PELIHARA. KAMI BERHARAP PULA BAHWA SEJALAN KETENTUAN PASAL 35 DALAM RAPERDA INI, PURWAKARTA DAPAT MENJADI PEMERINTAH DAERAH KELIMA DI PROVINSI JAWA BARAT YANG MEMILIKI PANTI SOSIAL SENDIRI.
“ANAK, SIAPAPUN ITU, ADALAH INVESTASI BAGI MASA DEPAN KITA SEMUA”. MANAKALA KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH JUSTRU TELAH MEMINGGIRKANNYA, INSYA ALLAH KAMI AKAN MENJADI FRAKSI TERDEPAN YANG AKAN MENGUPAYAKAN PERLINDUNGAN DAN PEMELIHARAANNYA. OLEH KARENA ITU, SEIRING DENGAN ANGGARAN MURNI APBD 2013 YANG MASIH DALAM PEMBAHASAN, KAMI MEMINTA AGAR PADA DISNAKERSOSTRANS TERDAPAT ALOKASI ANGGARAN, BAGI SETIAP KEPALA ANAK TERLANTAR YANG ADA DI PURWAKARTA YANG DIPERUNTUKAN BAGI TANGGUNGAN BIAYA PANGAN, SANDANG, SEKOLAH DAN KESEHATANNYA DALAM APBD 2013. CUKUPLAH DI HARI JADI PURWAKARTA TAHUN DEPAN, KITA MELUANGKAN WAKTU 5 MENIT UNTUK MENGHENINGKAN CIPTA DAN BERDO’A BERSAMA UNTUK KEMAJUAN PURWAKARTA, SEMENTARA SEMUA ANGGARANNYA KITA RUBAH ALOKASIKAN UNTUK PEMELIHARAAN ANAK-ANAK TERLANTAR YANG PADA FAKTANYA ADA DAN KITA MILIKI.
2. RAPERDA TENTANG TARIF PELAYANAN KESEHATAN PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BAYU ASIH KABUPATEN PURWAKARTA
SEJALAN KETENTUAN PASAL 50 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT, DINYATAKAN BAHWA: “BESARAN TARIF KELAS III RUMAH SAKIT YANG DIKELOLA PEMERINTAH DAERAH DITETAPKAN DENGAN PERATURAN DAERAH”. LOGIKA HUKUMNYA, TERLETAK PADA PENGKHUSUSAN TERHADAP BESARAN TARIF KELAS III YANG HARUS MENDAPAT PEMBAHASAN, PERSETUJUAN DAN KESEPAKATAN DARI DPRD. HAL INI TAK LAIN, SEHUBUNGAN TARIF DIMAKSUD ADALAH TARIF YANG AKAN BERKENAAN LANGSUNG MASYARAKAT PADA UMUMNYA.
SEBAGAI TARIF YANG MEREPRESENTASIKAN KEPENTINGAN MASYARAKAT, TENTU POLA TARIF YANG DITETAPKANNYA HARUS BERSIFAT SUBSIDIER, TIDAK MEMBEBANI DAN SEBENAR-BENARNYA DIDASARKAN PADA PENGHITUNGAN ATAS KEMAMPUAN EKONOMI MASYARAKAT. POLA TARIF, DIDEFINISIKAN DALAM KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1165/MENKES/SK/X/2007 TENTANG POLA TARIF RUMAH SAKIT BLU SEBAGAI “PENGATURAN DAN PENGHITUNGAN BESARAN TARIF RUMAH SAKIT YANG DIDASARKAN PADA PRINSIP-PRINSIP AKUNTANSI NIRLABA”.
DENGAN DEMIKIAN, FRAKSI KAMI MEMANDANG BAHWA TARIF DALAM RAPERDA INI ADALAH TARIF NIRLABA. TARIFNYA DISUBSIDI OLEH TARIF KELAS II, KELAS I DAN KELAS VIP. UNTUK ITU BERLANDASKAN PRINSIP NIRLABA DIMAKSUD, TERHADAP SATUAN TARIF DALAM LAMPIRAN, FRAKSI KAMI HANYA SEPAKAT ATAS JASA SARANANYA SAJA, DAN TIDAK SEPAKAT ATAS PEMBERLAKUAN JASA PELAYANAN DI DALAMNYA. JIKA JASA PELAYANAN DIMAKSUD TURUT DIBERLAKUKAN, MAKA BUKAN HANYA POLA TARIFNYA SUDAH KELUAR DARI KAIDAH NIRLABA DAN SIFAT SUBSIDIERNYA, NAMUN LEBIH DARI ITU, KAMI PERTANYAKAN PULA INTEGRITAS, MORALITAS DAN PENGABDIAN DARI PARA TENAGA MEDIS YANG ADA. HARUSKAH MENYERAP KEUNTUNGAN PELAYANAN BAGI KELAS III, SEMENTARA GAJI DAN TUNJANGAN SUDAH TERSEDIA? –UNTUK ITU, KHUSUS JASA PELAYANAN SILAHKAN TERAPKAN UNTUK KELAS II, I DAN VIP, BUKAN DI KELAS III.
SELAIN ITU, KAMI MENGUSULKAN AGAR DITAMBAHKAN 1 (SATU) BAB BARU YANG MENGATUR TENTANG HAK-HAK PASIEN DAN PENYAMPAIAN KEBERATAN PASIEN ATAS KUALITAS LAYANAN. JIKA PASIEN TERLAMBAT BAYAR SAJA, DIDENDA 2%, SEHARUSNYA TERHADAP PARA DOKTER YANG MANGKIR DARI KEWAJIBAN VISIT, YANG TIDAK RAMAH DAN BERKUALITAS DALAM PELAYANANNYA, PASIEN JUGA MEMILIKI HAK UNTUK MENYATAKAN KEBERATAN. DENGAN DEMIKIAN, DALAM HAL TARIF INI RSUD JANGAN HANYA BICARA SOAL HAKNYA SAJA ATAS TARIF, TETAPI JUGA BERBICARA HAK-HAK PASIEN. TAMBAHAN BAB YANG MENGATUR ITU, KAMI USULKAN DAN KAMI TUNTUTKAN SEBAGAI PEMANDANGAN FRAKSI DALAM FASE AKHIR PERUMUSAN RAPERDA MELALUI PARIPURNA INI.
3. RAPERDA TENTANG PENGELOLAAN PENYEHATAN LINGKUNGAN TEMPAT USAHA, INDUSTRI, SARANA KESEHATAN DAN PEMUKIMAN DI KAB. PURWAKARTA
UNTUK RAPERDA INI, DILUAR SUBSTANSINYA YANG MEMANG AMAT DIPERLUKAN UNTUK MEWUJUDKAN LINGKUNGAN DAN MASYARAKAT YANG SEHAT. PERLU KAMI SAMPAIKAN APA YANG SEMPAT DITEGASKAN DALAM RAPAT GABUNGAN KOMISI SEBELUMNYA, BAHWA PADA INTINYA KESEHATAN MEMANG MELINGKUPI SETIAP BENTUK KERJA SEKTORAL DAN URUSAN BIDANG-BIDANG. KESEHATAN MERUPAKAN WILAYAH CROSS CUTTING ISSUE. NAMUN DEMIKIAN HAL INI TIDAK PULA BERARTI DINAS KESEHATAN SEBAGAI LEADING SECTOR-NYA BERSIFAT MELINGKUPI DAN MAMPU MELINGKUPINYA. OLEH KARENA ITU, KAIDAH PEMERIKSAAN SEBAGAIMANA TERTUANG PADA PASAL 5 DAN PASAL 6 RAPERDA YANG BERSIFAT KOMPREHENSIF TERSEBUT; MULAI DARI PEMERIKSAAN LOKASI, BAHAN BANGUNAN, GETARAN, KEBISINGAN, SAMPAI DENGAN PENGHIJAUAN, PERLU DITUNJANG DENGAN SATU PASAL ATAU BAB YANG MEMERINTAHKAN BERLAKUNYA KOORDINASI. YAKNI, AGAR DINAS KESEHATAN TIDAK BERJALAN SENDIRIAN DAN MELAKUKAN OVER LAPPING DALAM AKTIFITAS PEMERIKSAANNYA.
DENGAN DEMIKIAN PADA AKHIRNYA KAMI MENGUSULKAN PENAMBAHAN BAB SEBAGAI BABA VIII KOORDINASI PEMERIKSAAN DENGAN 1 (SATU) PASAL SEBAGAI PASAL 19 DENGAN BUNYI TEKS PASAL BERUPA: “DALAM MELAKUKAN PEMERIKSAAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD PADA PASAL 5 DAN PASAL 6, DINAS MELAKUKAN KOORDINASI DENGAN OPD-OPD TERKAIT.”
BAB VIII SEBELUMNYA DAN BAB-BAB SELANJUTNYA, SERTA PASAL 19 SEBELUMNYA DAN PASAL-PASAL SELANJUTNYA BERTAMBAH 1 ANGKA DAN MENYESUAIKAN SECARA BERTURUT-TURUT.
4. RAPERDA TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
SEJALAN KETENTUAN PASAL 180 ANGKA 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH, MAKA BERLAKU EFEKTIFNYA PERALIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN MENJADI BAGIAN DARI PAJAK DAERAH AKAN DIMULAI PER 1 JANUARI 2014. DENGAN DEMIKIAN, MASIH TERDAPAT WAKTU 1 (SATU) TAHUN LEBIH BAGI KITA UNTUK MEMPERSIAPKAN SARANA DAN PRASARANANYA.
BERDASARKAN DIMENSI WAKTU TERSEBUT PULALAH, DAPAT KAMI KATAKAN BAHWA SEBENARNYA PENYEPAKATAN RAPERDA INI TERBILANG PREMATUR, TERLEBIH JIKA MENGINGAT BAHWA DPRD MASIH MEMILIKI BANYAK PEKERJAAN RUMAH BERUPA RAPERDA-RAPERDA LAINNYA YANG BELUM JUGA DISELESAIKAN. NAMUN DEMIKIAN, HAL INI TIDAK BERARTI KAMI MEMANDANG RAPERDA INI PERLU DITUNDA, TETAPI KAMI HANYA MENYATAKAN KRITISI ATAS KINERJA PEMBAHASAN SEHINGGA KAMI RASA KALI INIPUN AKAN TERDAPAT RAPERDA-RAPERDA DALAM PROLEGDA YANG AKAN LINTAS WAKTU DAN MENJADI PEKERJAAN RUMAH BAGI DPRD SENDIRI DI TAHUN 2013.
RAPAT DEWAN YANG KAMI HORMATI,
TERHADAP RAPERDA PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN INI, YANG PERLU KAMI SAMPAIKAN ADALAH :
PERTAMA, SOAL ADOPSI KETENTUAN PASAL 77 DAN PASAL 80 DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH. PASAL 80 AYAT (1) UNDANG-UNDANG DIMAKSUD MENYATAKAN BAHWA TARIF PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DITETAPKAN PALING TINGGI SEBESAR 0,3% (NOL KOMA TIGA PERSEN). HAL INI DIADOPSI SECARA KONDISIONAL DALAM RAPERDA PADA PASAL 6 AYAT (1) DAN AYAT (2) DALAM BENTUK PENETAPAN TARIF PAJAK 0,1% DAN 0,2%. KAMI MENYAMPAIKAN APRESIASI KAMI ATAS HAL INI. AKAN TETAPI SEBALIKNYA, UNTUK KETENTUAN PASAL 77 AYAT (4) YANG MENYATAKAN BAHWA “BESARNYA NILAI JUAL OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK DITETAPKAN PALING RENDAH SEBESAR Rp. 10.000.000,00 (SEPULUH JUTA RUPIAH) UNTUK SETIAP WAJIB PAJAK”, TIDAK DIADOPSI NILAINYA BERDASARKAN ANALISIS KONDISIONAL DIMAKSUD. UNTUK ITU, MENGINGAT SEIRING TINGKAT INFLASI BERKELANJUTAN YANG MENGGERUS KONDISI PEREKONOMIAN MASYARAKAT PURWAKARTA, MAKA KAMI PUN MENGINGINKAN DAN MENGUSULKAN AGAR NILAI NJOP TIDAK KENA PAJAK, DAPAT DINAIKKAN MENJADI SEBESAR Rp. 20.000.000,- (DUA PULUH JUTA RUPIAH), SEHINGGA KIRANYA RASIO BEBAN MASYARAKAT DAPAT SEDIKITNYA TERKURANGI.
KEDUA, SEBAGAIMANA TELAH DIUNGKAPKAN OLEH SALAH SATU ANGGOTA DPRD DALAM RAPAT GABUNGAN KOMISI PERIHAL TEKS AWAL DALAM BUNYI KETENTUAN PASAL 27 AYAT (1) YANG MENYATAKAN “SETIAP PEJABAT DILARANG MEMBERITAHUKAN KEPADA PIHAK LAIN SEGALA SESUATU YANG DIKETAHUI.., DST”. KAMI MEMANDANG AGAR DIPERJELAS, SEHINGGA TIDAK DIARTIKAN TERLALU MELUAS DAN KARENANYA DAPAT PULA MELANGGAR KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. HARUS ADA PENEGASAN BAHWA INFORMASI BERSIFAT RAHASIA DIMAKSUD, SEPANJANG BERKAITAN DENGAN DATA PRIVAT DAN DATA DETAIL PER SATUAN WAJIB PAJAK, BUKAN DATA AGREGAT YANG BERSIFAT UMUM DIMANA PELAPORAN DAN PENETAPANNYA SEBAGAI BAGIAN DARI INFORMASI YANG BERSIFAT PUBLIK JUSTRU MENJADI WAJIB SEJALAN PERLUNYA AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI DALAM PENGELOLAAN PAJAK, MAUPUN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SECARA KESELURUHAN. KAMI MEMANDANG KETENTUAN PASAL 27 DALAM RAPERDA INI, TERMASUK KETENTUANNYA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009, MEREPRESENTASIKAN INTRANSPARANSI YANG SELAMA INI MEWARNAI DAN MENGHASILKAN BANYAK KASUS DALAM PENGELOLAAN PAJAK DI TINGKAT NASIONAL.
DI LEVEL UNDANG-UNDANG, KETENTUAN INI TIDAK MEMBERLAKUKAN ASAS BINDING FORCE OF PRESEDENT, BAHWA SETIAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERSIFAT SALING TERKAIT. UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 DIFORMULASIKAN TANPA MELAKUKAN PERTAUTAN LOGIS DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008. IRONISNYA, SEBAGAI PRODUK HUKUM YANG SEHARUSNYA BERSIFAT PENJABARAN, RAPERDA INIPUN MELAKUKAN KESALAHAN YANG SAMA. BUDAYA COPY PASTE, DALAM FORMULASI KEBIJAKAN AMAT SANGAT DISAYANGKAN. UNTUK ITU, KETENTUAN PASAL 27 KAMI HARAP DAPAT DIRASIONALISASIKAN LAGI, AGAR TIDAK BERARTI PENENTANGAN TERHADAP TRANSPARANSI DAN/ATAU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK, SERTA AGAR BUNYI KETENTUANNYA DAPAT DIMENGERTI OLEH MASYARAKAT SELAKU SUBYEK DAN OBYEK ATURAN.
5. RAPERDA TENTANG PENYELENGGARAAN PASAR TRADISIONAL, PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN
RAPERDA USUL PRAKARSA DPRD INI, SEDARI AWAL KAMI TANGKAP SUBSTANSINYA DINIATKAN SEBAGAI SEBUAH KEPERLUAN HUKUM UNTUK MELINDUNGI, MEMBERIKAN PROTEKSI TERHADAP USAHA-USAHA MIKRO DAN KECIL YANG ADA DI TENGAH AKTIFITAS EKONOMI MASYARAKAT. HAL INI TERTUANG DALAM KONSIDERAN MENIMBANG RAPERDA YANG PADA DASARNYA MERUPAKAN SEBUAH CANTUMAN DARI RECHTSIDEE ATAU CITA HUKUM YANG INGIN DIWUJUDKAN MELALUI PENGATURAN DALAM BATANG TUBUH RAPERDA. KARAKTERISTIK SOSIOLOGIS, MERUPAKAN CIRI YANG SEWAJARNYA MELATARBELAKANGI RAPERDA YANG BERASAL DARI USUL PRAKARSA DPRD, MENGINGAT POSISI DPRD SEBAGAI LEMBAGA YANG MEWAKILI KEBERADAAN RAKYAT.
ATAS DASAR INILAH, KAMI MERASA PERLU UNTUK MENYAMPAIKAN PERIHAL KONSISTENSI RAPERDA UNTUK TETAP BERADA DALAM KEBERPIHAKANNYA KEPADA PUBLIK. MANAKALA PEMBAHASANNYA TELAH MELENCENG DARI NIATAN SEMULA, BAIK OLEH SEBAB EKSEKUTIF MAUPUN PARSIAL LEGISLATIF SENDIRI, TENTU SUDAH MENJADI KEWAJIBAN BAGI FRAKSI KAMI UNTUK MENGINGATKAN.
DESCRIPTION TRAP, ATAU JEBAKAN DESKRIPSI, DIMANA SUBTANSI DALAM CITA HUKUMNYA DITERJEMAHKAN TERLALU MELUAS KESANA KEMARI, KAMI RASA PERLU KAMI KETENGAHKAN AMAT KELIHATAN DALAM RAPERDA INI. MULAI DARI BAB VII PASAL 29 SAMPAI DENGAN PASAL 68, ATAU KURANG LEBIH SEBANYAK 40 PASAL, RAPERDA INI MENGATUR SECARA BERKEPANJANGAN PERIHAL PERIZINAN, SAMPAI KE SOAL ETIKA DAN KEWAJIBAN PEJABAT DALAM PENYELENGGARAAN PERIZINAN. PADAHAL, CUKUP DENGAN 3 (TIGA) PARAGRAF, YAKNI PARAGRAF 1 PERIHAL JENIS-JENIS IZIN, PARAGRAF 2 PERSYARATAN PERIZINAN, DAN PARAGRAF 3 PERIHAL KEWENANGAN DAN LOKASI PELAYANAN IZIN BAB PERIZINAN TERSEBUT SELESAI. TAK PERLU MENGATUR LAGI SOAL ETIKA, DISIPLIN DAN STANDAR PELAYANAN PERIZINAN, MENGINGAT HAL ITU SUDAH DIATUR SEBAGAI S-O-P YANG SUDAH MENJADI BAGIAN MELEKAT DALAM PELAKSANAAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI YANG DIMILIKI OLEH BPM-PTSP TERHADAP SETIAP BENTUK IZIN YANG DILAYANINYA. PASAL 44, 45 DAN 46, SERTA PADA PASAL SELANJUTNYA TERJADI BANYAK PENGULANGAN YANG SUBSTANSINYA NYARIS SAMA SAJA, SEHINGGA MEMBUAT BATANG TUBUH RAPERDA, MENGGELEMBUNG NAMUN KELUAR DARI LOKUS MATERI MUATAN YANG DIINGINKAN. WALHASIL, KAMI MEMANDANG RAPERDA INI, JIKA TIDAK DIPERBAIKI, AKAN JAUH DARI KRITERIA SINGKAT DAN PADAT, DAN PENGATURANNYA TELAH MELEBAR TERLALU JAUH. SUBSTANSI RAPERDA TERLETAK HANYA PADA PASAL 1 SAMPAI DENGAN PASAL 28, DAN JIKA DI TAMBAH DENGAN BAB PERIZINAN SEBAGAIMANA YANG KAMI PANDANG CUKUP 3 PARAGRAF DIMAKSUD, DITAMBAH SOAL PEMBINAAN SAMPAI KEPADA KETENTUAN PENUTUP, MAKA KAMI RASA RAPERDA INI CUKUP HANYA DENGAN KURANG LEBIH 40 PASAL SAJA. DALAM HAL INI, SEMOGA BAGIAN HUKUM SETDA DAN BAGIAN RISDANG SETWAN DAPAT MEMPERBAIKI DRAFTING-NYA.
KEDUA, SENADA DENGAN APA YANG TELAH DISAMPAIKAN OLEH BEBERAPA ANGGOTA DPRD DALAM RAPAT GABUNGAN KOMISI SEBELUMNYA. PERTANYAANNYA APAKAH RAPERDA INI KELAK, TIDAK SEBAIKNYA DIBERLAKUKAN SURUT, DIBERLAKUKAN RETROAKTIF? –HAL INI SEJALAN DENGAN INFORMASI DARI BPM-PTSP BAHWA BERDIRINYA MINIMARKET YANG MENJAMUR BELAKANGAN INI, SEBAGIAN BESAR TIDAK MEMILIKI ZIN YANG JELAS. APALAGI UNTUK SEKADAR MEMENUHI KEWAJIBAN ANALISIS SOSIAL EKONOMI, KEWAJIBAN KEMITRAAN, KEWAJIBAN UNTUK TIDAK MELAKUKAN MONOPOLI, SEMUANYA TENTU TAK PERLU DIPENUHI MENGINGAT PINTU PERTAMA BERUPA PERIZINAN PUN TAK DIMILIKI. UNTUK ITU DEMI KETERTIBAN, KEPATUTAN ATAS HUKUM, DAN SIKAP KONSEKUEN LEMBAGA LEGISLATIF, KAMI MEMINTA AGAR DALAM KETENTUAN PENUTUP RAPERDA INI DINYATAKAN BAHWA PERATURAN DAERAH INI DIBERLAKUKAN SURUT. SEHINGGA SETIAP JAMURAN MINIMARKET SAAT INI, HARUS DIBEKUKAN SELAMA BELUM MEMILIKI IZIN, HARUS PULA MEMILIKI HASIL ANALISIS SOSIAL EKONOMI DARI LEMBAGA INDEPENDEN, HARUS MENJALANKAN KEMITRAAN APABILA PROSES IZINNYA DITEMPUH PADA SAAT DIBEKUKAN.
KETIGA, SOAL PENGAWASAN DAN SANKSI PIDANA. PASAL 22 HURUF A MEMBERIKAN LARANGAN KEPADA TOKO MODERN UNTUK MELAKUKAN MONOPOLI. FAKTANYA HAMPIR DI SEMUA MINIMARKET, MULAI DARI GULA PASIR, MAKANAN RINGAN, SAMPAI KE LAMPU DAN ALAT-ALAT TULIS TELAH DIBUBUHI MERK MINIMARKET YANG BERSANGKUTAN. TIDAK TERDAPAT RUANG BAGI PRODUK LOKAL UNTUK TURUT DIPASARKAN. NAMUN PADA BAB XI SANKSI PIDANA PASAL 74 HANYA MENCANTUMKAN PASAL 22 HURUF F SAJA, SEHARUSNYA KESELURUHAN PASAL 22.
KEEMPAT, DENGAN PENAMAAN YANG SAMA DALAM HAL TOKO MODERN, MESKIPUN BERBEDA-BEDA LOKASI, MAKA JELAS TOKO TERSEBUT MERUPAKAN SEJENIS BISNIS FRANCHISE YANG MENJADI BAGIAN DARI USAHA WARALABA. DENGAN DEMIKIAN, BUKAN HANYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG WARALABA PERLU DIMASUKKAN SEBAGAI BAGIAN DARI LANDASAN YURIDIS RAPERDA. TETAPI LEBIH DARI ITU BAHWA SETIAP MINIMARKET, DIPERSYARATI PERIZINANNYA DENGAN KEPEMILIKAN STPW YANG DIKELUARKAN OLEH MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. TANPA STPW, MAKA TAK ADA IZIN YANG DAPAT DIKELUARKAN OLEH DAERAH TERKAIT DENGAN MINIMARKET TERSEBUT.
6. RAPERDA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN
UNTUK RAPERDA INI, SAMA DENGAN RAPERDA PENGELOLAAN PENYEHATAN LINGKUNGAN TEMPAT USAHA, INDUSTRI, SARANA KESEHATAN DAN PEMUKIMAN, DALAM ARTI PENGATURANNYA TELAH DILANDASKAN PADA KEPERLUAN BERSIFAT RIIL. HANYA SAJA ASPEK KOORDINASI PERLU KAMI TEKANKAN UNTUK DIATUR. BERBAGAI PEMERIKSAAN DALAM SEKTORNYA MASING-MASING, KIRANYA DAPAT MENJADI SEBUAH PROSES PEMERIKSAAN GABUNGAN DI TAHAP AWAL, SERTA PEMERIKSAAN GABUNGAN BERKALA. HAL INI TAK LAIN, AGAR SEKTOR SWASTA TAK TERLALU DIPUSINGKAN DENGAN PEMERIKSAAN-PEMERIKSAAN SECARA TERPISAH-PISAH YANG TENTUNYA MEMAKAN WAKTU. SEKTOR USAHA, SEKTOR INDUSTRI SETIAP MINGGUNYA ATAU BULANNYA TELAH TERLALU BANYAK MENERIMA INSPEKSI. BILA PERLU TINDAK LANJUT DARI SEMUA RAPERDA YANG MENGATUR PEMERIKSAAN MULTI SEKTOR INI DIATUR MELALUI PERATURAN BUPATI UNTUK DIJADIKAN AKTIFITAS GABUNGAN, BUKAN LAGI SATUAN-SATUAN YANG BERJALAN SENDIRI-SENDIRI DAN MENYULITKAN PARA PEMANGKU KEPENTINGAN.
RAPAT DEWAN YANG KAMI HORMATI,
DEMIKIAN POKOK-POKOK PIKIRAN YANG DAPAT KAMI SAMPAIKAN SEBAGAI PEMANDANGAN UMUM FRAKSI DEMOKRAT. KAMI MEMOHON MAAF APABILA TERDAPAT SAMPAIAN YANG KIRANYA MENYINGGUNG DAN TIDAK PADA TEMPATNYA. SEMUANYA TAK LAIN DEMI TERCAPAINYA PERBAIKAN DALAM PENJALANAN TUGAS DAN FUNGSI KITA BERSAMA SELAKU UNSUR PENYELENGGARA PEMERINTAHAN DAERAH YANG TENTU HARUS MENGEDEPANKAN PELAYANAN PUBLIK DAN PEMBERIAN MANFAAT BAGI MEREKA SEMUA.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH,
BILLAHI TAUFIK WAL HIDAYAH, WASSALAMU ‘ALAIKUM WR. WB.
PURWAKARTA, 30 OKTOBER 2012
FRAKSI
DEMOKRAT
DPRD
KABUPATEN PURWAKARTA
SEKRETARIS,
M.
ALWI DHANI
|
WAKIL
KETUA,
HAERUL
AMIN
|
KETUA,
NURHASANAH
|
ANGGOTA :
1.
DADANG
BURHANUDIN ................................
2.
MASTUR ................................
3.
ENO
SUKARNA ................................
4.
IIN
SALAMIRAH ................................
5.
H. M. UNDIA ................................
Guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi,banyak website yang menghadirkan berita-berita akurat,salah satunya website ini.Terimakasih admin, maju terus untuk website nya
BalasHapusSebentar lagi pemilu,jadi bingung milih partai yang mana ya?
BalasHapusKemana aja nich jarang update
BalasHapus