EDITORIAL
|
BLUNDER STATUS QUO
Melepas
diri dari epistemologinya, sientifika politik di ranah aksiologis dan
ontologis, pada praktisnya hanya memiliki satu teori tunggal. Seperti teori
godam Nietszche dalam filsafat yang meluluhlantakan bangunan teologi, atau
teori relatifitas Einstein yang menjadi godam dunia fisika, teori politik hanya
mengenal teori probabilitas. Teori kemungkinan. Tak satupun pasti mengingat
segalanya serba mungkin.
Sebagai contoh adalah kezaliman sebagai
sebuah istilah buruk yang sah-sah saja diko-modifikasi menjadi aset. Teks
“penzaliman” atau “saya dizalimi”, menjadi alat pencitraan sehingga seorang
berbaju kuning di level nasional menggunakannya untuk membuat ormas.
Lebih-lebih manakala ditunjang klaim sebagai sebuah gerakan moral dan
restorasi, akhirnya lahirlah simpati besar. Namun blun-der terjadi. Ormas tersebut tiba-tiba menjadi parpol dan citra
positif sebelumnya pun ter-gantung jadinya.
Hal demikian menunjukkan bahwa dalam pro-babilitas
yang seolah menjadi ruang panjang berlanjut sekalipun, dapat saja berhenti
akibat sebuah blunder. Senjata makan tuan.
Adapun berkenaan dengan ormas, pasal 5 UU
8 tahun 1985, menyebutkan bahwa diantara fungsi ormas adalah sebagai saluran
aspirasi masyarakat. Dalam konteks komunikasi, isti-lah saluran berarti media
dialog yang keberha-silannya bergantung kepada ekualitas peserta komunikasi di
dalamnya dalam bentuk penia-daan distansi. Maka, pemberdayaan, kritisitas
dialog dan pemupusan jarak sosial sepatutnya menjadi ciri khas dari keberadaan
ormas.
Namun apa lacur, penyakit identitas,
tabiat kuasa dan arogansi militan, rupanya meru-pakan pure virtue yang patologis dalam buda-ya politik kita. Belum-belum
membuktikan dirinya mampu berpikir dan berkiprah, sera-gam-seragam loreng
militer telah membuat jarak sosial tersendiri. Banyak ormas mempo-sisikan dirinya
eksklusif, ketimbang inklusif di masyarakat. Blunder terjadi pula atas fungsi normatif UU atas ormas sebagai
sarana dialog antara masyarakat dan Pemerintah. Menying-gung ormas baru yang
ada belakangan ini, tak jelas mana yang pemerintah? Dan mana yang bukan
pemerintah? Dialog menjadi monolog. Masyarakat mungkin lebih menginginkan ia
untuk fokus kepada tanggung jawabnya saja ketimbang bersibuk masuk organisasi
sana sini, bahkan hingga ke dalam organisasi BBC, yang bukan Babakan Cikao,
tapi satu tempat lain diujung dunia antah berantah dengan tujuan organ yang
juga antah berantah.
Sekadar sedikit mengkomparasikannnya. Di
pintu kuil Delphi bagi sebuah organisasi pikir dimana di era Yunani bangunan
filsafat pada awalnya dirumuskan tertulis “gnoti
seauton”, ketahuilah dirimu. Dan di pintu zawiyah Suhra-wardi al-Maqtul
konon terpancang, “disinilah, setiap yang
lapar menjadi kenyang. Siapa yang mencari menemukan, siapa yang letih teristi-rahatkan,
siapa terpisah tersatukan”. Organi-sasi tanpa jarak. Pertanyaannya, apakah
niat-an dimaksud mungkin tercapai apabila di pintu masing-masing berdiri para
penjaga berseragam militer? Eksklufitas yang belum-belum telah membuat jarak
arogan dengan masyarakat ini, hanya mencirikan bahwa rupanya tak ada tempat
bagi masyarakat sama sekali dalam niatan ormas ini.
Hal yang menjadi ironi, konon ormas ini
diba-ngun oleh manusia yang berkesadaran cukup, bahkan membumi. Sekadar bumi
dalam pikir-annya sendiri rupanya. Berbagai acara tafsir, pun tak membuatnya bergeming untuk mau
inklusif, mau mendengar, mau melihat. Aba
wastakbaro, bagaimanapun adalah blunder paling hakiki. Jika dalam sejarah
keagamaan, pelakunya yang dilaknat itu berdendam melahirkan goda dalam bentuk
motif. Maka jika ia manusia, konsekuensinya tentu kese-pihakan terhadap
manusia-manusia lainnya.
Tak tahukah, masyarakat sudah muak diatas-namakan? —R edaksi—