" DEDE YUSUF - LAKSAMANA , BEKERJA SEPENUH HATI"

Senin, 16 Januari 2012

BLUNDER STATUS QUO - EDITORIAL PUSHINK


EDITORIAL
BLUNDER STATUS QUO
Melepas diri dari epistemologinya, sientifika politik  di ranah aksiologis dan ontologis, pada praktisnya hanya memiliki satu teori tunggal. Seperti teori godam Nietszche dalam filsafat yang meluluhlantakan bangunan teologi, atau teori relatifitas Einstein yang menjadi godam dunia fisika, teori politik hanya mengenal teori probabilitas. Teori kemungkinan. Tak satupun pasti mengingat segalanya serba mungkin.
Sebagai contoh adalah kezaliman sebagai sebuah istilah buruk yang sah-sah saja diko-modifikasi menjadi aset. Teks “penzaliman” atau “saya dizalimi”, menjadi alat pencitraan sehingga seorang berbaju kuning di level nasional menggunakannya untuk membuat ormas. Lebih-lebih manakala ditunjang klaim sebagai sebuah gerakan moral dan restorasi, akhirnya lahirlah simpati besar. Namun blun-der terjadi. Ormas tersebut tiba-tiba menjadi parpol dan citra positif sebelumnya pun ter-gantung jadinya.
Hal demikian menunjukkan bahwa dalam pro-babilitas yang seolah menjadi ruang panjang berlanjut sekalipun, dapat saja berhenti akibat sebuah blunder. Senjata makan tuan.
Adapun berkenaan dengan ormas, pasal 5 UU 8 tahun 1985, menyebutkan bahwa diantara fungsi ormas adalah sebagai saluran aspirasi masyarakat. Dalam konteks komunikasi, isti-lah saluran berarti media dialog yang keberha-silannya bergantung kepada ekualitas peserta komunikasi di dalamnya dalam bentuk penia-daan distansi. Maka, pemberdayaan, kritisitas dialog dan pemupusan jarak sosial sepatutnya menjadi ciri khas dari keberadaan ormas.
Namun apa lacur, penyakit identitas, tabiat kuasa dan arogansi militan, rupanya meru-pakan pure virtue yang patologis dalam buda-ya politik kita. Belum-belum membuktikan dirinya mampu berpikir dan berkiprah, sera-gam-seragam loreng militer telah membuat jarak sosial tersendiri. Banyak ormas mempo-sisikan dirinya eksklusif, ketimbang inklusif di masyarakat. Blunder terjadi pula atas fungsi normatif UU atas ormas sebagai sarana dialog antara masyarakat dan Pemerintah. Menying-gung ormas baru yang ada belakangan ini, tak jelas mana yang pemerintah? Dan mana yang bukan pemerintah? Dialog menjadi monolog. Masyarakat mungkin lebih menginginkan ia untuk fokus kepada tanggung jawabnya saja ketimbang bersibuk masuk organisasi sana sini, bahkan hingga ke dalam organisasi BBC, yang bukan Babakan Cikao, tapi satu tempat lain diujung dunia antah berantah dengan tujuan organ yang juga antah berantah.
Sekadar sedikit mengkomparasikannnya. Di pintu kuil Delphi bagi sebuah organisasi pikir dimana di era Yunani bangunan filsafat pada awalnya dirumuskan tertulis “gnoti seauton”, ketahuilah dirimu. Dan di pintu zawiyah Suhra-wardi al-Maqtul konon terpancang, “disinilah, setiap yang lapar menjadi kenyang. Siapa yang mencari menemukan, siapa yang letih teristi-rahatkan, siapa terpisah tersatukan”. Organi-sasi tanpa jarak. Pertanyaannya, apakah niat-an dimaksud mungkin tercapai apabila di pintu masing-masing berdiri para penjaga berseragam militer? Eksklufitas yang belum-belum telah membuat jarak arogan dengan masyarakat ini, hanya mencirikan bahwa rupanya tak ada tempat bagi masyarakat sama sekali dalam niatan ormas ini.
Hal yang menjadi ironi, konon ormas ini diba-ngun oleh manusia yang berkesadaran cukup, bahkan membumi. Sekadar bumi dalam pikir-annya sendiri rupanya. Berbagai acara tafsir,  pun tak membuatnya bergeming untuk mau inklusif, mau mendengar, mau melihat. Aba wastakbaro, bagaimanapun adalah blunder paling hakiki. Jika dalam sejarah keagamaan, pelakunya yang dilaknat itu berdendam melahirkan goda dalam bentuk motif. Maka jika ia manusia, konsekuensinya tentu kese-pihakan terhadap manusia-manusia lainnya.
Tak tahukah, masyarakat sudah muak diatas-namakan?                                        —R edaksi—