POLITIK
|
Khittah
Demokrasi
“Dalam
bentuk elektoral, demokrasi merupakan sistem yang memungkinkan tumbangnya para
cerdik cendekia, para bijak bestari di tangan si bodoh yang mampu menghimpun
massa.”
Oleh
: Nanang Purnama, SE
***
Sebagai ilustrasi adalah acara Indonesian Idol di RCTI dan acara-acara serupa. Pertanya-annya,
apakah kemudian pemenang meru-pakan pemilik kualitas suara termerdu? Pemilik kualitas
suara atau pemilik potensi terbaik? Contoh lain dan teraktual bagi kita di
Purwakarta, apakah purwa kembar berada di posisi kedua karena kalah kualitas?
– Jawabannya, belum tentu atau justru tidak sama sekali. Penentunya adalah
“mayoritas” polling SMS; serta tentu saja,
setting agenda dari pemilik-pemilik kepentingan yang ada (dalam hal ini media
dan sponsor) untuk menggiring opini polling.
Dari ilustrasi tersebut, setidaknya dapat tergambarkan
bahwa praktik demokrasi saat ini pada faktanya masih jauh dari sempurna. Ia
masih menyimpan banyak bolong problematik yang jika tidak segera diselesaikan
memungkinkan bagi terciptanya sebuah kekuasaan yang kelak otoriter atas nama
mayoritas. Muara persoalannya terletak pada bagaimana memperpendek jarak kesenjangan
antara demokrasi di tataran konseptual dengan demokrasi di tataran implementasi.
Tentu saja bukan sebuah upaya yang mudah, mengingat secara bersamaan cukup
banyak kekuatan-kekuatan atau elit-elit kepentingan yang beratasnamakan rakyat
justru berupaya mempertahankan pola praktikal yang ada sehubungan mindset perspektif mereka yang cenderung
meredusir demokrasi ke dalam konsepsi “peluang” belaka.
Dalam Against the
Personification of Demo-cracy, 2010,
Smedlow menyatakan :
Sejauh teori
demokrasi tidak bisa
menerima proyek demokratisasi
politik esensial lain yang ada, itu akan merupakan
sebuah proses berlawanan, kontes atau
pertem-puran kepentingan untuk menjadi pusat perhatian yang bagaimanapun tetap sama, atau kosong.
Antagonisme menunjukkan bahwa apa yang direpresi
adalah setiap alternatif
untuk demokrasi. Demokrasi,
di sisi lain, meski menerima/mengelola bentuk kontes yang dapat diterima, di saat bersamaan menghalangi apapun di luar norma demokrasi,
oleh karena itu, (ia juga merupakan) sebuah antagonisme .
Deskripsi dan Identifisir Problem
Meski keberadaannya secara historis didahu-lui oleh kultur
Stoa sebagai buhun dari so-sialisme,
demokrasi; semenjak masih merupakan lingkung dari damba imaginer Platonik belaka
di era Yunani Kuno hingga kemudian memperoleh bentuk konkretnya di dalam tataran
negara, kekuasaan dan kepeme-rintahan, sampai saat ini diakui belum memiliki format
ideal yang mampu mengikis persoalan kesenjangan konsepsionalnya vis a vis tataran implementasi yang
dimilikinya. Pemikiran-pemikiran politik yang lahir; pemi-lahan kekuasaan era Montesquieu,
hingga demokrasi sosialis terkini ala Third
Way-nya Giddens; kesemuanya cenderung dan nyaris melulu berada di areal
pemikiran “pintu kedua” sebagai model perspektifal dari bagai-mana seharusnya
kekuasaan diejawantahkan. Oleh karena, guna memberikan batas, perlu dilakukan pemilahan terlebih dahulu sbb:
1.
Pintu Pertama; adalah
terminologi yang digunakan di sini sebagai sebuah istilah bagi pemikiran
politik tahap awal terkait substansi
demokrasi; bagaimana kekuasaan itu menjadi ada, bagaimana seharusnya ia
terbentuk, terpilih, sahih, dan bagaimana mekanisme idealnya.
2.
Pintu kedua; adalah
terminologi yang digunakan untuk menunjuk pemikiran tahap lanjutan, yakni
setelah kekuasaan itu ada. Bagaimana memilahnya menjadi trias politica, bagaimana KPK dipandang perlu harus ada, adalah
pemikiran di areal ini yang oleh karena itu Montesqueu serta banyak pengamat
politik struktural yang kerap bicara tentang perlunya lembaga A, B dan C di
tempatkan di sini.
Tanpa bermaksud mengesampingkan sum-bangsih pemikiran yang
telah diberikan, sepanjang terkait soal substansi, wilayah “pintu kedua” dapat
dibilang agak nadir; bagai-mana mungkin keadilan dapat ditegakkan, dilembagakan
sana-sini sementara pelaku-pelaku keadilan di dalamnya tidak juga dapat
dikatakan memenuhi prasyarat keadilan? Atau, bagaimana mungkin para hidung
belang berkumpul untuk membentuk dan mengisi keanggotaan Komisi Anti Maksiat? – Nadir,
mengingat lokus persoalan dimaksud jauh lebih dalam dari sekadar soal teknis pembentukan
infrastruktur.
Menunjuk kalimat pembuka, maka kiranya dapat ditenggarai
bahwa persoalan demo-krasi; meski tetap berkaitan dengan soal infra-struktur, utamanya
berada di areal “pintu pertama”, yakni soal suprastruktur, soal struk-tur atas
dengan asumsi-asumsi dasarnya yang tidak atau belum memperoleh ejawantah yang
sepenuhnya.
Secara kronologis persoalan itu muncul sejalan
historisitasnya yang menunjuk pada mana demokrasi lahir lebih sebagai andaian atau
wacana ide meski merupakan juga respons tersembunyi terhadap kekuasaan represif
era monarki aristokrasi Yunani kuno saat itu. Idea demos - cratein, pemerintahan rakyat, meru-pakan bahasan dan
sebaran laten yang lantas meluas dengan melulu bertumpu secara apriori pada keinginan dari terpenuhinya
kehendak rakyat, tanpa memperoleh for-mulasi yang jelas sehingga mencapai titik
kultifikasi, mistifikasi. Fox populi fox
Dei, inilah salah satu bentuknya. Asumsi
dasar yang terlalu diperluas.
Pada saat, wacana ide itu menguat di abad pertengahan, mistifikasi
pun mencapai masifi-kasi. Kata “rakyat” sejalan fox populi fox Dei menjadi sakral dan langgeng sampai sekarang. Itulah
sebab mengapa hampir setiap elemen komunitas, setiap elit selalu berbicara mengatasnamakan
rakyat. Sebuah kata sakti, meski sebenarnya tak seorangpun tahu dima-na
sebenarnya alamat rakyat itu berada.
Di tataran konsepsi, mistifikasi pada prin-sipnya
terjadi sebagai akibat dari satu kondisi dalam mana suatu terma, suatu obyek teoria,
amat sulit mencapai konkretasi. Dan demokrasi telah melakukan kesalahan tersebut
dalam mana elemen tematis di dalamnya, yakni “rakyat” merupakan elemen yang sangat
sulit diidentifisir, ditunjukkan atau dikonkretasi bentuknya. Ia amat abstrak,
Sayangnya mistifikasi “rakyat” dalam demokrasi
tersebut berjalan ajeg. Terminologinya terus terpelihara dan kian menjadi
dogmatik, menjadi mindset imperatif yang lantaran sulitnya konkretasi pada akhirnya disimplifikasi ke dalam
subterma praktikal bernama “mayoritas”. Inilah sumber toxic-nya yang ke-mudian secara substantif mempengaruhi se-mua
persoalan yang muncul di ranah demokrasi.
RALAT CETAK
Edisi Februari
Artikel
Khittah Demokrasi
Dalam konteks demokrasi, terjadi simplifikasi kata
“rakyat” menjadi kata “mayoritas” yang lebih lanjut dimanipulir ke dalam pola pengangkaan.
Terlanjur menjadi mainstream kesadaran,
pola ini lantas meredusir formulasi dan tinjauan ulang atas baik-buruk, berguna
atau sia-sia. Sehingga diakui atau tidak, demokrasi
secara prinsipal merupakan sebuah sistem kuantitas, bukan kualitas.
Beginilah persoalannya di deskrip-sikan.
Banyak fakta lain dapat ditampilkan. Namun kiranya fakta
di bawah ini memadai sebagai tambahan timbangan deskripsional:
1.
Budaya quorum.
Inilah gambaran lain dari demokrasi
jumlah angka. Pemenuhan jumlah, merupakan bolong yang sendiri-nya dapat
mengesampingkan dimensi kualitas. Sebuah kebijakan publik, sebuah bahas atau
rapat-rapat yang tidak krusial sekalipun dapat dilakukan mencapai keputusan
selama memenuhi quorum tanpa memperdulikan perlu tidaknya, berguna tidaknya,
ataupun berkualitas tidaknya. Walhasil, pemenuhan kepentingan di tataran
kebijakan hanya bertumpu pada political
lobies, lobi belaka. Tidak perlu menempuh grounding aspirasi dan analisis kualitatif nilai guna yang layak.
Maka hingga ke level impeachment, quorum
bisa saja dimainkan. Meminjam istilah die
spiegestspirale-nya Noemann
(1974), budaya quorum ini dapat menghasilkan minoritas diam meski sedianya
mungkin lebih benar.
2. In-efisiensi Biaya.
Laporan LIPI di awal tahun 2009 menyampaikan estimasi biaya demokrasi Indonesia
(pilkada) dari mulai digulirnya otonomi sampai awal tahun 2009 telah mencapai besaran
400 trilyun. Biaya ini dipandang LIPI sepadan dengan pembangunan layanan
kesehatan sekelas rumah sakit dan sekolah di pedesaan serta jalan hotmix kelas dainless di seluruh pulau Jawa!! –Itupun
baru berbicara uang negara, belum kepada putaran uang yang beredar dan
menghambur dari mayoritas individu calon eksekutif maupun legislatif, betapa
mungkin daripadanya selesai soal jamkesmas atau soal pengangguran jika
digunakan untuk investasi ekonomi di wilayah lokal masing-masing. Tidak
bisa-kah kemudian disusun sebuah mekanisme yang lebih murah, efektif dan
efisiens?
3. On
the street democrazy.
Representasi jalanan, demonstrasi, lingkaran komunitas aksi beratasnamakan
rakyat. Dalam kon-teks transisi, banyak segi yang dapat ditampilkan dari
munculnya pola seperti ini, diantaranya berupa probabilitas eu-phoria, rendahnya budaya belajar
politik, serta kurang berjalannya saluran repre-sentasi yang ada. Banyaknya
aksi yang “bermain” di tataran gejala, aksi yang tidak berlandas pada
argumentasi yang jelas ajeg adalah indikatornya. Aksi-aksi menentang sekolah
kelas jauh di Purwa-karta baru lalu merupakan contoh dimana dialektika antar
pihak berjalan tanpa satu-pun menyadari keberadaan PP 17 tahun 2010. Sebuah inkapabilitas aksi, sekaligus
inkapabilitas saluran representasi.
Deskripsi mistifikasi, tumbangnya dimensi kualitas,
tiadanya fit and proper test yang qualified haruslah dijawab. Demokrasi
bukanlah sedianya harus ditelan bulat-bulat, tetapi lebih dari itu dipikirkan secara
bersama-sama, bagaimana membatasi dan melakukannya?
Adakah Khittah
Demokrasi ?
Le bon sauvage atau pre state
of nature, adalah pengandaian Rousseau atas sebuah masyara-kat alamiah pra
institusi yang di dalamnya manusia tinggal dengan tak satupun lebih rendah
ataupun lebih tinggi dalam keduduk-annya. Andaian ini menunjuk pada suatu
kondisi dimana manusia memerintah dirinya sendiri, rakyat yang langsung
memerintah dirinya, tanpa adanya penguasaan, tanpa perlu negara. Mungkin inilah khittah (garis awal) dari demos dan cratein dalam pemikiran
Rousseau; ekualitas. Karenanya demos
cratein memiliki khittah purba sebagai kesetaraan yang dalam konteks
tiadanya penguasaan da-pat berarti keadilan dan penghargaan terha-dap jati diri
kemanusiaan. Meski kemudian diilustrasikan bahwa ketika nafsu penguasaan mulai muncul
dalam proses interaksi, maka akhirnya didirikanlah negara sebagai sebuah wujud
kontrak sosial, sebuah Memorandum of
Understanding (MoU), namun penyepakatan di dalamnya idealnya disusun dengan
tetap berpijak pada khittah semula.
Ekualitas!, inilah khittah (garis awal) demo-krasi, sebuah
terma yang pada saat itu; dan seharusnya
sekarang, merangkum banyak aspek yang pada intinya menunjuk terutama pada
proses penjagaan jati diri kemanusiaan, kesamaan dan keadilan. Inilah bagian jawab yang dapat dimunculkan, jika
ditanyakan adakah khittah demokrasi? – Oleh karena itu, penguasaan, kekuasaan, triade kelembagaan; eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan semua elemen yang ada dalam sistem demokrasi
mestilah berada dalam posisinya masing-masing sebagai pekerja yang mengemban a-manat
pemanusiaan: Penjaminan rakyat, pen-jamin setiap bagian dalam masyarakat untuk
meningkatkan kualitas kemanusiaannya.
Revitalisasi
Peran Parpol
Ketika Khalifah Abubakar Ash-Shiddiq ra. sebelum
wafatnya mengamanatkan agar para sahabat berkumpul untuk bersyu’ara memilih
khalifah penggantinya. Maka 11 bijak bestari berkumpul mewakili semua sehingga
terpilih-lah Umar bin Khattab ra; seorang kepala eksekutif yang dalam sejarah
islam dikenal dengan sebutan Umar yang istananya adalah padang pasir, pakaian
kenegaraannya adalah baju bertambal, dan bantal tidurnya adalah sebuah batu di
bawah pohon kurma. (Ilustrasi yang indah dan murah sebagai wujud ejawan-tah dari
konsepsi demokrasi perwakilan yang
secara historis menghasilkan pemimpin khit-tah yang luar biasa pula).
Ilustrasi ke 2 : Pasca eleksi di atas, Abu Dzar
Al-Ghiffari berpamit pergi meninggalkan se-tiap bentuk semua keduniawian,
menyepi diri di padang pasir sampai akhir hidupnya seraya berjanji bahwa ia akan
kembali dengan membawa sebilah pedang terhunus apabila ia dengar Umar dalam
kekuasaannya telah me-nyimpang dari khittah. –Pada suatu saat Abu Dzar sempat
mendatangi Umar, sang singa padang pasir itu jatuh terduduk, berkeringat dingin
dan membatin ucapan, “Celaka aku! Abu Dzar datang pasti untuk membunuhku! Apa
salahku?” –Abu Dzar memeluk Umar, ia datang hanya karena rindu silaturahim.
Dua ilustrasi di atas ditinjau dari sudut pan-dang model
infrastruktur kepemerintahannya jelas berlainan dengan model kepemerintahan sebuah
negara modern. Hanya saja picu utama yang ditampilkan; demokrasi sentralistik
maupun desentralistik, adalah faktor manusianya. Dengan demikian demokrasi
mesti menyusun suatu mekanisme agar setiap pemimpin dan calon benar-benar
memenuhi dimensi kualitas yang dipersyaratkan.
Secara implementatif hal tersebut setidaknya menunjuk
upaya solutif terhadap :
1.
Perlunya pelembagaan fit and proper test secara ketat sedari awal.
2.
perlunya pengawasan integritas (inte-grity controlling) yang kontinu sebagai tindak lanjut dari hasil fit and proper test.
Seiring ketiadaan lembaga tersebut secara ajeg dan qualified di negara kita, maka mau tidak mau partai-partai
politik mesti menjadi gerbang pertama dari fit
and proper test serta integrity
controlling. Revitalisasi peran parpol menjadi tidak tertolak seiring
kebutuhan bagi penciptaan iklim demokrasi yang lebih berku-alitas.
Dengan demikian, idealnya parpol mulai memposisikan
dirinya selain sebagai wadah khittah juga sekaligus merupakan penjaga jalur
khittah demokrasi. Parpol pada intinya mengemban amanat tugas pemanusiaan dan
kemanusiaan, dalam mana konsistensi men-jadi urusan wajib, diawal maupun di
akhir, yang kunci diantaranya bertumpu pada :
1.
Peningkatan
kualitas kaderisasi;
2.
Penerapan fit
and proper test ketat dalam keanggotaan;
3.
Pengawasan integritas
terhadap anggota yang duduk di saluran representasi;
4.
Membangun dan
menjaga soliditas ang-gota agar tidak terkontaminasi kepen-tingan-kepentingan
politik praktis
Banyak jalan bagi upaya perbaikan terhadap bangunan demokrasi
yang bercelah tersebut. Namun seiring kekuatan kepentingan yang berusaha
mempertahankan pola absurd yang ada, revitalisasi peran, konsistensi dan
penja-gaan soliditas parpol menjadi satu hal yang paling mungkin.
(Penulis
merupakan seorang Praktisi Politik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar