HUKUM
|
Pudarnya sebuah khittah
“Keadilan
hanya dapat diartikan dalam keberadaan pihak. Titik temu keberimba-ngan antar
pihak. Oleh karena itu keadilan hanya berarti kesepihakan mana-kala dalam
formulasinya sama sekali mengabaikan peran dan keberadaan publik”
Oleh
: H. Onnie S. Sandi, SE.
“Le loa cest moi”, ungkapan antagonis raja Louis di era monarki Perancis di
abad perte-ngahan tersebut merupakan noktah hitam yang diseberangkan sekaligus dapat
dianta-ranya dijadikan sebagai presumption
motif dari bagaimana perlunya hukum
dan peraturan perundang-undangan dibuat, diformulasikan dalam rangka
menghindarkan diri dari terjadi-nya penindasan dan penguasaan. Hukum merupakan upaya
perlindungan pada awal-nya. Pemerian dari jajaran hak rakyat yang ingin diakui oleh
kekuasaan agar keberadaannya tidak menjadi bahan eksploitir pihak penguasa.
Seiring dinamika interaksional yang menunjuk ke arah
histori penguatan komunitas rakyat di era bertumbangannya monarki, teorema hu-kum
beralih ke arah keadilan. Perlindungan tidak bisa ditafsirkan sepihak dengan menga-baikan
keberadaan pihak lain, dalam arti bahwa bukan hanya rakyat, tetapi juga keku-asaan,
perlu mendapat perlindungan dari gerak anarki. Equilibrium keadilan, pro justicia, “Cinta Keadilan”, inilah khittah, rechtsidee dari semua bentuk hukum dan peraturan per-undmsconfigang-undangan.
Khittah
Keadilan
Berbeda secara kontekstual dengan Hukum Pidana atau
Perdata sebagai sebuah formulasi produksial dari teorema keadilan, Hukum Ke-tatanegaraan
di dalamnya menjangkau kebe-radaan pihak dalam bentuk interaksional yang
kontinu. Jika pidana maupun perdata bersifat kasuistis, maka lingkup tata
negara dalam produksialitas formulasi hukum dan peraturan perundang-undangannya
terkait dengan se-buah pola hubungan berjalan. Sebuah ”aturan main” antara
pihak kekuasaan dengan pihak yang dikuasai, harian, tahunan atau hingga batas
yang disepakati. Ia tidak individualistik, karena itu terikat kuat dengan
kenyata-an, landasan dan latar belakang sosiologis dan filosofis.
Dalam perspektif demokrasi; hal mana rakyat, publik
atau masyarakat ditinggikan dalam kedudukannya, maka pijak sosiofilofis
dimak-sud tentunya menunjuk pada keberadaan publik sebagai sebuah pihak
terutama. Kea-dilan, sebagai khittah,
berarti pengakomo-diran peran publik. Hal mana mengingat bahwa secara
terminologis keadilan merupa-kan andaian tindak yang hanya ada dan bisa mengandung
arti apabila menunjuk kebera-daan elemen-elemen pihak di dalamnya. Ter-minologi
keadilan tidaklah ada dalam seben-tuk unsur tunggal. –L’art pour l’art, Le loa pour
le loa, seni untuk seni,
hukum untuk hukum, adalah nonsens dari ideosinkrasi positivistik.
Semua; termasuk hukum, haruslah demi suatu tujuan.
Maka perlu kiranya lebih lanjut disadari pem-posisian
publik sebagai obyek sekaligus subyek hukum. Publik bukanlah elemen mate-ri non
sadar seperti halnya obyek hukum dan rumusan dalam dunia sains, tetapi
merupakan sekumpulan individu manusia berkesadaran yang memerlukan aktualisasi
bagi dirinya, yang ingin merepresentasikan dirinya, meng-aspirasikan, menjaga,
melibatkan diri, yang oleh karena itu dengannya ia dapat berada secara sosial
sebagai sebuah makna.
Khittah keadilan, pun secara teoretis, dimana kesemua
asas; asas non retroaktif, asas lex
superiori derogat legi inferiori, lex posteriori derogat legi priori dan lex specialis derogat legi generali,
dibuat sebagai pembatas dan upaya bagi diwujudkannya keadilan.
Fenomen Pengesampingan
Perubahan model demokrasi yang semula sentralistik
menjadi desentralistik di Indonesia ini, semestinya semakin membuka dan me-mudahkan
publik untuk turut berperan dan terlibat dalam semua bentuk kerja kepeme-rintahan
yang secara teoretis telah tidak lagi memiliki jarak signifikan dengan publik. Produk
hukum dan peraturan perundang-undangan pun telah menjadi satuan-satuan lokal
yang tentunya kian berdekatan dengan subyek dan obyek hukum itu sendiri yang
selama ini diabaikan, yakni masyarakat dima-na pemerintah maupun pemerintah
daerah sebelumnya bermain sendirian.
Khittah keadilan hukum di era desentralistik tersebut
kian paripurna, dimana peran publik memperoleh ratifikasi melalui UU 10 tahun
2004 dan UU 32 tahun 2004. Apakah dalam konteks local government tersebut hal ini telah berjalan efektif? Itu tentu
menjadi soal lain mengingat integritas pelaku kepemerintahan daerah itu
sendirilah yang merupakan ger-bang bagi kemungkinan itu terwujud.
Menunjuk Purwakarta sebagai lokusnya, da-pat
ditampilkan realita sbb:
1.
Semua produk hukum
daerah memiliki kewajiban untuk disosialisasikan mulai dari tahap rancangan
(oleh sekretariat daerah/DPRD bergantung dari berasal dari mana rancangan itu
diusulkan). Faktanya, belum pernah sekalipun publik, komuni-tasko-munitas
publik, mendapatkan sosi-alisasi perihal rancangan peraturan daerah.
2.
Publik, lisan
maupun tulisan, dapat ber-peran serta dalam pembahasan produk hukum daerah.
Faktanya, apakah meka-nisme tersebut dibuka dengan rapat-rapat yang mengundang
elemen publik? Apa-bila berbicara bentuk rapat paripurna, apakah dibuka
kesempatan pandangan publik di dalamnya? –sama sekali tidak.
3.
Semua produk hukum;
termasuk daerah, harus menempuh analisis yang dituang-kan dalam bentuk naskah
akademis sebelum penyusunannya (Perpres 68 tahun 2005). Adakah naskah akademis
tersebut? Suatu naskah yang secara inter teks apabila disejalankan dengan UU 10 maupun 32/2004 maka akan berpijak pada
analisis publik demi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan serta dalam materi
muatan bernama “keadilan”.
4.
Ketaatan asas.
Asas non retroaktif, asas tidak berlaku surut, yang hanya dapat dikecualikan
apabila terdapat situasi khu-sus dimana aturan di dalamnya mengikat obyek hukum
yang dalam aspektuasi tin-dakan hukumnya pada saat pra pengun-dangan dipandang
masih memunculkan konsekuensi hukum yang mesti diper-tanggungjawabkan.
--
Faktanya, di tahun 2010, lahirlah Perda RPJMD tahun 2008-2013 yang berlaku
surut. Sebuah anekdot, dimana eksekutif dan legislatif, di tahun 2010 itu sibuk
merencanakan pembangunan Purwakarta untuk tahun 2008-2009. Artian mengikat,
adalah menunjuk persona hukum dari
pe-laku tindakan hukum tersebut, sehingga retroaktifasi hanya dapat dilakukan
oleh penyepakat dan persona pelaku
hukum yang sama yang produknya dapat sede-rajat maupun lebih tinggi. Apakah
unsur anggota DPRD baru sebagai bagian dari penyepakat, mau untuk ikut secara
bersa-ma-sama bertanggung jawab atas tindak-an pembangunan di tahun 2008-2009,
meski mereka saat itu belum lagi menjadi anggota DPRD baru. Padahal, keberada-an Peraturan Bupati tahun
2008 tentang RPJMD 2008-2013 sedianya sudah mema-dai dan berkekuatan hukum
mengikat dalam arti bagi dirinya, bagi persona
pelaku RPJMD, dan diperintahkan oleh UU 25/2004 dan 17/2007. Anekdotisir ironi
kapabilitas, sebuah pemborosan dan inefisiensi dari segi biaya maupun waktu.
5.
Efisiensi dan
efektifitas adalah rechtsidee, ruh
dari desentralisasi, mencakup semua mekanisme kerja kepemerintahan tak
ter-kecuali kerja legislasi. Lebih-lebih menim-bal balik pada maksud efektif
dari asas ke-hasilgunaan untuk diperluas juga ke tataran formulasi? –Hipotetikanya,
bagai-mana mungkin sebuah produk hukum dapat berlaku efektif apabila
perancang-annya sendiri merupakan plot yang tidak menginginkan efisiensi dan
efektifitas. Hal ini menunjuk pada susunan Prolegda 2011 berisikan raperda
tentang pajak dan retribusi daerah yang dipecah-pecah ke dalam 20 Raperda.
Tidakkah efektif apa-bila dilakukan perangkuman menjadi 1 (satu) raperda
tentang Pajak dan Retribusi Daerah saja, menimbangkan rumusannya yang dapat
dibilang sederhana, yakni sekadar memuat subyek dan obyek dari pajak dan
retribusi belaka untuk lantas menyerahkan level tata laksananya ke wilayah peraturan
bupati? –Ineffectiveness dimana
dengan begitu anggaran pemba-hasan dapat dipecah-pecah. Sebuah titik dari
banyak titik anggaran yang kerap diformulasi sedemikian rupa ke arah yang dalam
perspektif publik merupakan kesia-sian, bahkan penghianatan tanggung jawab.
Sekian fakta di atas sekadar perwakilan dari banyak
fakta inkonsistensi dari embanan amanat. Pembahasan tertutup RAPBD di
hotel-hotel berbintang, tiadanya upaya/ itikad untuk melembagakan sosialisasi
dan penam-pungan respons publik, tidak dimanfaat-kannya keberadaan teknologi
demi efisiensi pembahasan adalah juga sekadar tambahan fakta dari banyak fakta maka
bagaimana mungkin publik dapat dituntut dan diharap-kan untuk berperan serta; tahu
tentang APBD apalagi RAPBD saja tidak? –Tahu tentang mereka dalam
implementasinya akan dibawa kemana juga tidak; selain dari sekadar meng-alami brain storming berupa adegium propa-gandus berkarakter dan
berjalan leucir.
Pada akhirnya, teorema khittah yang menun-juk pada
keadilan, meski dalam ruang media yang serba terbatas ini spesifik dihubungkan dengan
aspek hukum dan peraturan perun-dang-undangan, perspektifnya mestilah di-tangkap
dengan perluasan; Keadilan, peran serta, pengakuan, pemberdayaan, pencer-dasan dan
pencerahan publik di semua sektor.
Menilik kujang sebagai simbolisasi identitas feodalisme
yang di era kolonial menjalin sindikasi dengan kaum imperialis, dalam arti bahwa
kujang pada faktanya merupakan barang yang mewah dan yang hanya dimiliki menak dan para darah biru
feodalistik di tatar sunda dimana publik sebenarnya lebih me-ngetahui dan akrab
atas nilai guna dari kata bedog atawa
peso, tulisan khittah ini meru-pakan sebuah ajak kepada publik untuk mari
berkesadaran dan berpikir kritis.
Idealisasi apapun, tak akan terealisasi dengan hanya
tinggal diam. Dengan berpikir, seti-daknya menghindarkan diri dari kontaminasi
agar bisa tetap di jalur khittah.
(Penulis adalah
seorang pemerhati politik)
Harus menyadarkan pada masyarakat bahwa kandidat yg money politics & Politik pencitraan, jelas2 mental korup dan badut politik
BalasHapus